UNDANG UNDANG PENERBANGAN RI – C

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAGIAN 3

BAB X ANGKUTAN UDARA

Bagian Kesatu Jenis Angkutan Udara

Paragraf 1 Angkutan Udara Niaga

Paragraf 2 Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Paragraf 3 Angkutan Udara Bukan Niaga

Paragraf 4 Angkutan Udara Perintis

Bagian Kedua Perizinan Angkutan Udara

Paragraf 1 Perizinan Angkutan Udara Niaga

Paragraf 2 Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga

Paragraf 3 Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara

Bagian Ketiga Jaringan dan Rute Penerbangan

Bagian Keempat Tarif

Bagian Kelima Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara

Bagian Keenam Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit

Bagian Ketujuh Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

Bagian Kedelapan Tanggung Jawab Pengangkut

Paragraf 1 Wajib Angkut

Paragraf 2 Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

Paragraf 3 Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

Bagian Kesembilan Angkutan Multimoda

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAB X ANGKUTAN UDARA

 

 

Bagian Kesatu Jenis Angkutan Udara

 

Paragraf 1 Angkutan Udara Niaga

 

Pasal 83

 

(1)   Kegiatan angkutan udara terdiri atas:

  1. angkutan udara niaga; dan
  2. angkutan udara bukan niaga.

 

(2)   Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a terdiri atas:

  1. angkutan udara niaga dalam negeri; dan b. angkutan udara niaga luar negeri.

 

(3) Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   huruf a dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.

 

Pasal 84

 

Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.

 

 

 

Pasal 85

 

(1)   Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.

 

(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

 

(3)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.

 

(4) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani   oleh   badan   usaha   angkutan   udara   niaga berjadwal lainnya.

 

Pasal 86

 

(1)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral.

 

(2) Dalam hal angkutan udara niaga berjadwal luar negeri merupakan bagian dari perjanjian multilateral yang bersifat multisektoral, pelaksanaan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri tetap harus diatur melalui perjanjian bilateral.

 

(3) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).

 

 

 

(4) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan.

 

(5) Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

 

Pasal 87

 

(1) Dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut.

 

(2) Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut.

 

Pasal 88

 

(1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan/atau luar negeri.

 

(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.

 

Pasal 89

 

(1)   Perusahaan   angkutan  udara   niaga   berjadwal   asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.

 

 

(2) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.

 

(3)   Perusahaan   angkutan   udara   niaga   berjadwal   asing khusus mengangkut kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

 

Pasal 90

 

(1) Pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara tanpa batasan hak angkut udara (open sky) dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.

 

(2) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.

 

Pasal 91

 

(1)   Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal.

 

(2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).

 

(3)   Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan Menteri.

 

 

(4) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga nasional.

 

(5) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha   angkutan udara   niaga berjadwal lainnya.

 

Pasal 92

 

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:

  1. rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);
  2. kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);
  3. seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter);
  4. taksi udara (air taxi); atau
  5. kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.

 

Pasal 93

 

(1)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri.

 

(2)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri   setelah   mendapat   persetujuan   dari   menteri terkait.

 

Pasal 94

 

(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound traffic).

 

(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.

 

(3) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.

 

Pasal 95

 

(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri.

 

(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.

 

(3)   Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.

 

Pasal 96

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara   dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 2 Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal

 

Pasal 97

 

(1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:

  1. pelayanan dengan standar maksimum (full services);
  2. pelayanan dengan standar menengah (medium services); atau
  3. pelayanan dengan standar minimum (no frills).

 

 

(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah bentuk pelayanan maksimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan jenis kelas pelayanan penerbangan.

 

(3)   Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah bentuk pelayanan sederhana yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan.

 

(4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah   bentuk   pelayanan   minimum   yang   diberikan kepada penumpang selama penerbangan.

 

(5) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menetapkan   kelas   pelayanan   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan.

 

Pasal 98

 

(1) Badan usaha angkutan udara   niaga berjadwal yang pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dan huruf c   merupakan badan usaha yang berbasis biaya operasi rendah.

 

(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

Pasal 99

 

(1) Badan usaha angkutan udara   niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri.

 

(2)   Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

 

(3) Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi secara periodik.

 

 

 

Pasal 100

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 3 Angkutan Udara Bukan Niaga

 

Pasal 101

 

(1)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.

 

(2)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:

  1. angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);
  2. angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau
  3. angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.

 

Pasal 102

 

(1) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri.

 

(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan     kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah tertentu, dengan memenuhi persyaratan tertentu, dan bersifat sementara.

 

(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa :

  1. peringatan;
  2. penbekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.

 

 

Pasal 103

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata   cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 4 Angkutan Udara Perintis

 

Pasal 104

 

(1) Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha   angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah.

 

(2) Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kompensasi lainnya.

 

(3) Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.

 

(4)   Angkutan   udara   perintis   dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun.

 

(5)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.

 

Pasal 105

 

Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

 

Pasal 106

 

(1) Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan.

 

 

 

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

  1. pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis;
  2. bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/atau c. bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.

 

(3) Pelaksana kegiatan angkutan udara perintis dikenakan sanksi administratif berupa tidak diperkenankan mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan tahun berjalan.

 

Pasal 107

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kedua Perizinan Angkutan Udara

 

Paragraf 1 Perizinan Angkutan Udara Niaga

 

Pasal 108

 

(1) Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional.

 

(2) Badan usaha angkutan udara niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh atau sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

 

(3) Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).

 

 

Pasal 109

 

(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

  1. akta pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya bergerak di bidang angkutan udara niaga berjadwal atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan disahkan oleh Menteri yang berwenang;
  2. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
  3. surat   keterangan   domisili   yang   diterbitkan   oleh instansi yang berwenang;
  4. surat persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal apabila yang bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman modal;
  5. tanda bukti modal yang disetor;
  6. garansi/jaminan bank; dan
  7. rencana bisnis untuk kurun waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

 

(2)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan, dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.

 

Pasal 110

 

(1) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat:

  1. jenis   dan   jumlah   pesawat   udara   yang   akan dioperasikan;
  2. rencana pusat kegiatan operasi penerbangan dan rute penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal;
  3. rencana pusat kegiatan operasi penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal;
  4. aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar angkutan udara;
  5. sumber daya manusia yang terdiri dari manajemen, teknisi, dan personel pesawat udara;
  6. kesiapan atau kelayakan operasi; dan
  7. analisis dan evaluasi aspek ekonomi dan keuangan.

 

 

(2) Penentuan dan penetapan lokasi pusat kegiatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan   oleh   Menteri   paling   sedikit   dengan mempertimbangkan:

  1. rencana tata ruang nasional;
  2. pertumbuhan kegiatan ekonomi; dan
  3. keseimbangan   jaringan   dan   rute   penerbangan nasional.

 

Pasal 111

 

(1)   Orang   perseorangan   dapat   diangkat   menjadi   direksi badan usaha   angkutan udara niaga, dengan memenuhi persyaratan:

  1. memiliki   kemampuan   operasi   dan   manajerial pengelolaan usaha angkutan udara niaga;
  2. telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan oleh Menteri;
  3. tidak pernah terlibat tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang terkait dengan penyelenggaraan angkutan udara; dan
  4. pada saat memimpin badan usaha angkutan udara niaga, badan usahanya tidak pernah dinyatakan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi direktur utama badan usaha angkutan udara niaga.

 

Pasal 112

 

(1) Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin yang diberikan.

 

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.

 

(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatan usahanya.

 

 

Pasal 113

 

(1)   Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang diberikan.

 

(2)   Pemindahtanganan izin usaha angkutan udara niaga hanya dapat dilakukan setelah pemegang izin usaha beroperasi dan mendapatkan persetujuan Menteri.

 

(3)   Pemegang   Izin   usaha   angkutan   udara   niaga   yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.

 

Pasal 114

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 2 Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga

 

Pasal 115

 

(1) Kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri.

 

(2)   Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha Indonesia, dan lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

  1. persetujuan dari instansi yang membina kegiatan pokoknya;
  2. akta pendirian badan usaha atau lembaga yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang;
  3. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
  4. surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
  5. rencana kegiatan angkutan udara.

 

 

(3)   Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang digunakan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

  1. tanda bukti identitas diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
  2. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
  3. surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
  4. rencana kegiatan angkutan udara.

 

(4)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.

 

(5) Rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf e dan ayat (3) huruf d paling sedikit memuat:

  1. jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan;
  2. pusat kegiatan operasi penerbangan;
  3. sumber daya manusia yang terdiri atas teknisi dan personel pesawat udara; serta
  4. kesiapan serta kelayakan operasi.

 

Pasal 116

 

(1) Izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara.

 

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.

 

(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatannya.

 

 

Pasal 117

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 3 Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara

 

Pasal 118

 

(1)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:

  1. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling   lambat   12   (dua   belas)   bulan   sejak   izin diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
  2. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu;
  3. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang–undangan;
  4. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;
  5. melayani   calon   penumpang   secara   adil   tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
  6. menyerahkan   laporan   kegiatan   angkutan   udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan, setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri;
  7. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Menteri;
  8. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat udara kepada Menteri; dan
  9. memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

 

(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:

  1. angkutan   udara   niaga   berjadwal   memiliki   paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
  2. angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
  3. angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.

 

(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:

  1. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
  2. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
  3. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan
  4. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili kantor pusat kegiatan kepada Menteri.

 

(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:

  1. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
  2. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain;
  3. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan

 

  1. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili pemegang izin kegiatan kepada Menteri.

 

Pasal 119

 

(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (3) huruf a, dan ayat (4) huruf a, izin usaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.

 

(2)   Pemegang   izin   usaha   angkutan   udara   niaga   yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.

 

(3) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

 

(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.

 

Pasal 120

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 121

 

(1) Badan usaha angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing yang melakukan kegiatan angkutan udara ke dan dari wilayah Indonesia wajib menyerahkan data penumpang pra kedatangan atau keberangkatan (pre-arrival or pre-departure passengers information).

 

(2) Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan sebelum kedatangan atau keberangkatan pesawat udara kepada petugas yang berwenang di bandar udara kedatangan atau keberangkatan di Indonesia.

 

(3) Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat keterangan:

  1. nama lengkap penumpang sesuai dengan paspor;
  2. jenis kelamin;
  3. kewarganegaraan;
  4. nomor paspor;
  5. tanggal lahir;
  6. asal dan tujuan akhir penerbangan;
  7. nomor kursi; dan h. nomor bagasi.

 

Bagian Ketiga Jaringan dan Rute Penerbangan

 

Pasal 122

 

(1) Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal ditetapkan oleh Menteri.

 

(2)  Jaringan dan rute penerbangan luar negeri   ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian angkutan udara antarnegara.

 

Pasal 123

 

(1) Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

  1. permintaan jasa angkutan udara;
  2. terpenuhinya persyaratan teknis operasi penerbangan;
  3. fasilitas bandar udara yang sesuai dengan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan;
  4. terlayaninya semua daerah yang memiliki bandar udara;
  5. pusat kegiatan operasi penerbangan masing-masing badan usaha angkutan udara niaga berjadwal; serta
  6. keterpaduan rute dalam negeri dan luar negeri.

 

(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

  1. kepentingan nasional;
  2. permintaan jasa angkutan udara;
  3. pengembangan pariwisata;
  4. potensi industri dan perdagangan;
  5. potensi ekonomi daerah; dan
  6. keterpaduan intra dan antarmoda.

 

Pasal 124

 

(1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat mengajukan rute penerbangan baru dalam negeri dan/atau luar negeri kepada Menteri.

 

(2) Menteri melakukan evaluasi pengajuan dan menetapkan rute penerbangan baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

 

Pasal 125

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Keempat Tarif

 

Pasal 126

 

(1)   Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo.

 

(2)   Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan non-ekonomi.

 

(3) Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan komponen:

  1. tarif jarak;
  2. pajak;
  3. iuran wajib asuransi; dan
  4. biaya tuslah/tambahan (surcharge).

 

Pasal 127

 

(1)   Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

126 ayat (3) merupakan batas atas tarif penumpang

pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.

 

(2) Tarif batas atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan   oleh   Menteri   dengan   mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.

 

(3)   Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   harus dipublikasikan kepada konsumen.

 

(4)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri   dilarang   menjual   harga   tiket   kelas   ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan Menteri.

 

(5)   Badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa sanksi peringatan dan/atau pencabutan izin rute penerbangan.

 

Pasal 128

 

(1)   Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.

 

(2) Tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.

 

Pasal 129

 

Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.

 

Pasal 130

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur   pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kelima Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara

 

Pasal 131

 

(1)   Untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara.

 

(2)   Kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.

 

Pasal 132

 

Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:

  1. akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang dan salah satu usahanya bergerak di bidang penunjang angkutan udara;
  2. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
  3. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
  4. surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal atau badan koordinasi penanaman modal daerah apabila menggunakan fasilitas penanaman modal;
  5. tanda bukti modal yang disetor;
  6. garansi/jaminan bank; serta
  7. kelayakan teknis dan operasi.

 

Pasal 133

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Keenam Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit

 

Pasal 134

 

(1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia

12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas

khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.

 

(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

  1. pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
  2. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara;
  3. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;
  4. sarana bantu bagi orang sakit;
  5. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;
  6. tersedianya   personel   yang  dapat   berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan
  7. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

 

(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

 

Pasal 135

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Ketujuh Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

 

Pasal 136

 

(1) Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

(2)   Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus.

 

(3) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

(4) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. bahan peledak (explosives);
  2. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
  3. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);
  4. bahan   atau   barang   padat   mudah   menyala   atau terbakar (flammable solids);
  5. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
  6. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
  7. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
  8. bahan atau barang perusak (corrosive substances);
  9. cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels)

dalam jumlah tertentu; atau

  1. bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).

 

(5) Badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

 

 

Pasal 137

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 138

 

(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara.

 

(2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam pesawat udara.

 

(3) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

 

Pasal 139

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Kedelapan Tanggung Jawab Pengangkut

 

Paragraf 1 Wajib Angkut

 

Pasal 140

 

(1) Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

 

(2) Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

 

(3)   Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat   (1)   dibuktikan   dengan   tiket   penumpang   dan dokumen muatan.

 

 

 

Paragraf 2 Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

 

Pasal 141

 

(1)  Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

 

(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab     atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

 

(3)   Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

 

 

Pasal 142

 

(1)   Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.

 

(2) Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.

 

Pasal 143

 

Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

 

Pasal 144

 

Pengangkut   bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

 

Pasal 145

 

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

 

Pasal 146

 

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

 

Pasal 147

 

(1) Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.

 

 

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:

  1. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
  2. memberikan   konsumsi,   akomodasi,   dan   biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

 

Pasal 148

 

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:

  1. angkutan pos;
  2.    angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
  3. angkutan udara bukan niaga.

 

Pasal 149

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 3 Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

 

Pasal 150

 

Dokumen angkutan udara terdiri atas:

  1. tiket penumpang pesawat udara;
  2. pas masuk pesawat udara (boarding pass);
  3. tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag);

dan

  1. surat muatan udara (airway bill).

 

Pasal 151

 

(1)   Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif.

 

(2) Tiket penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat:

 

  1. nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;
  2. nama penumpang dan nama pengangkut;
  3. tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan;
  4. nomor penerbangan;
  5. tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan
  6. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

 

(3)   Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah.

 

(4) Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

 

Pasal 152

 

(1)   Pengangkut   harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b kepada penumpang.

 

(2)   Pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

  1. nama penumpang;
  2. rute penerbangan;
  3. nomor penerbangan;
  4. tanggal dan jam keberangkatan;
  5. nomor tempat duduk;
  6. pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara

(boarding gate); dan

  1. waktu masuk pesawat udara (boarding time).

 

Pasal 153

 

(1) Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c kepada penumpang.

 

(2) Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

  1. nomor tanda pengenal bagasi;
  2. kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan c. berat bagasi.

(3)   Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak diisi keterangan- keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang, atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

 

Pasal 154

 

Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.

 

Pasal 155

 

(1) Surat muatan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

150 huruf d wajib dibuat oleh pengirim kargo.

 

(2) Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat:

  1. tanggal dan tempat surat muatan udara dibuat;
  2. tempat pemberangkatan dan tujuan;
  3. nama dan alamat pengangkut pertama;
  4. nama dan alamat pengirim kargo;
  5. nama dan alamat penerima kargo;
  6. jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada;
  7. jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo;
  8. jenis atau macam kargo yang dikirim; dan
  9. pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

 

(3) Penyerahan surat muatan udara oleh pengirim kepada pengangkut membuktikan kargo telah diterima oleh pengangkut dalam keadaan sebagaimana tercatat dalam surat muatan udara.

 

(4) Dalam hal surat muatan udara tidak diisi keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diserahkan kepada pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

 

Pasal 156

 

(1) Surat muatan udara wajib dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga), lembar asli diserahkan pada saat pengangkut menerima barang untuk diangkut.

 

(2) Pengangkut wajib menandatangani surat muatan udara sebelum barang dimuat ke dalam pesawat udara.

 

Pasal 157

 

Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.

 

Pasal 158

 

Pengangkut   wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).

 

Pasal 159

 

Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini.

 

Pasal 160

 

Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat- syarat khusus untuk angkutan kargo:

  1. yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan besar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang ini; dan/atau

 

  1. yang memerlukan perawatan atau penanganan khusus dan harus disertai perjanjian khusus dengan tambahan imbalan untuk mengasuransikan kargo tersebut.

 

Pasal 161

 

(1) Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.

 

 

(2) Pengirim kargo bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen   lainnya   yang   dipersyaratkan   oleh   instansi terkait dan menyerahkan kepada pengangkut.

 

(3) Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh pengirim.

 

Pasal 162

 

(1) Pengangkut wajib segera memberi tahu penerima kargo pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan segera diambil.

 

(2)   Biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau lalai mengambil pada   waktu   yang   telah ditentukan menjadi tanggung jawab penerima.

 

Pasal 163

 

Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.

 

Pasal 164

 

(1)   Dalam hal penerima kargo, setelah diberitahu sesuai dengan waktu yang diperjanjikan tidak mengambil kargo, semua biaya yang ditimbulkannya menjadi tanggung jawab penerima kargo.

 

(2) Kargo yang telah melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut berhak menjualnya dan hasilnya digunakan untuk pembayaran biaya yang timbul akibat kargo yang tidak diambil oleh penerima.

 

(3) Penjualan kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara yang paling cepat, tepat, dan dengan harga yang wajar.

 

(4) Hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan kepada yang berhak menerima setelah dipotong biaya yang dikeluarkan oleh pengangkut sepanjang dapat dibuktikan.

 

(5)   Penerima kargo tidak berhak menuntut ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya karena penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

 

Paragraf 4

Besaran Ganti Kerugian

 

Pasal 165

 

(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana     dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 

(2)   Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara niaga di luar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

 

Pasal 166

 

Pengangkut   dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).

 

Pasal 167

 

Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.

 

Pasal 168

 

(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal

145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 

(2) Besarnya ganti kerugian untuk kerusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim yang hilang, musnah, atau rusak.

 

(3) Apabila   kerusakan   atau   kehilangan   sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan tersebut.

 

Pasal 169

 

Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).

 

Pasal 170

 

Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 171

 

Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 172

 

(1)   Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170 dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.

 

(2)   Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

  1. tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
  2. kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga;
  3. tingkat inflasi kumulatif;
  4. pendapatan per kapita; dan
  5. perkiraan usia harapan hidup.

 

(3)   Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan perubahan besaran ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari menteri yang membidangi urusan keuangan.

 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 5

Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian

 

Pasal 173

 

(1) Dalam hal seorang penumpang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

(2)   Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1), badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Paragraf 6

Jangka Waktu Pengajuan Klaim

 

Pasal 174

 

(1)   Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang.

 

(2) Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat seharusnya diambil oleh penumpang.

 

(3) Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas)

hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.

 

(4)   Klaim atas kehilangan bagasi tercatat diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

 

 

Pasal 175

 

(1)   Klaim atas kerusakan kargo harus diajukan pada saat kargo diambil oleh penerima kargo.

 

(2) Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya kargo harus diajukan pada saat kargo seharusnya diambil oleh penerima kargo.

 

(3) Kargo dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.

 

(4)   Klaim atas kehilangan kargo diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

 

Paragraf 7

Hal Gugatan

 

Pasal 176

 

Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.

 

Pasal 177

 

Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.

 

Paragraf 8

Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang

 

Pasal 178

 

(1)   Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.

 

 

 

(2)   Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

 

Paragraf 9

Wajib Asuransi

 

Pasal 179

 

Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.

 

Pasal 180

 

Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal

168, dan Pasal 170.

 

 

 

Paragraf 10

Tanggung Jawab pada Angkutan Udara

oleh Beberapa Pengangkut Berturut – turut

 

Pasal 181

 

(1) Pengangkutan yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa pengangkut dianggap sebagai satu pengangkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu perjanjian angkutan udara oleh pihak–pihak yang bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau bersama-sama.

 

(2) Dalam hal tidak ada perjanjian oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kerugian yang diderita penumpang, pengirim, dan/atau penerima kargo menjadi tanggung jawab pihak pengangkut yang mengeluarkan dokumen angkutan.

 

 

Paragraf 11

Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda

 

Pasal 182

 

(1)   Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal pengangkutan dilakukan melalui angkutan intermoda.

 

(2) Dalam hal angkutan intermoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak pengangkut menggunakan 1 (satu) dokumen angkutan, tanggung jawab dibebankan kepada pihak yang menerbitkan dokumen.

 

 

Paragraf 12

Tanggung Jawab Pengangkut Lain

 

Pasal 183

 

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146 berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak   pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.

 

 

 

Paragraf 13

Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga

 

Pasal 184

 

(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda- benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.

 

(2)   Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kerugian nyata yang dialami.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan besaran ganti kerugian, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 185

 

Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.

 

 

 

Paragraf 14

Persyaratan Khusus

 

Pasal 186

 

(1) Pengangkut   dilarang   membuat   perjanjian   atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam Undang- Undang ini.

 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kesembilan Angkutan Multimoda

 

Pasal 187

 

(1) Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.

 

(2) Kegiatan angkutan udara dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya.

 

Pasal 188

 

Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.

 

 

Pasal 189

 

(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang.

 

(2) Tanggung jawab angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.

 

(3)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal badan usaha angkutan multimoda atau agennya dapat membuktikan telah dilaksanakannya segala prosedur untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.

 

(4) Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.

 

Pasal 190

 

Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

 

Pasal 191

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.