News & Updates

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAGIAN 6

BAB XVII PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN

BAB XVIII   SISTEM INFORMASI PENERBANGAN

BAB XIX SUMBER DAYA MANUSIA

Bagian Kesatu Penyediaan dan Pengembangan

Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Penerbangan

Bagian Ketiga Sertifikat Kompetensi dan Lisensi

Bagian Keempat Kontribusi Penyedia Jasa Penerbangan

Bagian Kelima Pengaturan   Waktu Kerja

BAB XX PERAN SERTA MASYARAKAT

BAB XXI PENYIDIKAN

BAB XXII KETENTUAN PIDANA

BAB XXIII KETENTUAN PERALIHAN

BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP

 

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG PENERBANGAN

 

BAB XVII PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN

 

Pasal 370

 

(1) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan Pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional.

 

(2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi industri:

  1. rancang bangun, produksi, dan pemeliharaan pesawat udara;
  2. mesin, baling-baling, dan komponen pesawat udara;
  3. fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan;
  4. teknologi, informasi, dan navigasi penerbangan;
  5. kebandarudaraan; serta
  6. fasilitas     pendidikan     dan     pelatihan     personel penerbangan.

 

(3) Perkuatan transportasi udara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah dengan:

  1. mengembangkan riset pemasaran dan rancang bangun yang laik jual;
  2. mengembangkan   standardisasi   dan   komponen penerbangan dengan menggunakan sebanyak- banyaknya muatan lokal dan alih teknologi;
  3. mengembangkan industri bahan baku dan komponen;
  4. memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
  5. memfasilitasi kerja sama dengan industri sejenis dan/atau pasar pengguna di dalam dan luar negeri; serta
  6. menetapkan kawasan industri penerbangan terpadu.

 

 

Pasal 371

 

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) dilaksanakan dengan mempersiapkan dan mempekerjakan sumber daya manusia nasional yang memenuhi standar kompetensi.

 

Pasal 372

 

Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) harus dilaksanakan dengan memenuhi standar keselamatan dan keamanan serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

 

Pasal 373

 

Badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara, dan unit penyelenggara bandar udara, serta lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib mendukung pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan nasional.

 

Pasal 374

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

BAB XVIII SISTEM INFORMASI PENERBANGAN

 

Pasal 375

(1) Sistem informasi penerbangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi penerbangan untuk:

  1. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
  2. mendukung perumusan kebijakan di bidang penerbangan.

 

(2)   Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri.

 

 

Pasal 376

 

Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 paling sedikit meliputi:

  1. peraturan penerbangan sipil nasional;
  2. target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan penerbangan;
  3. jumlah badan usaha angkutan udara nasional dan asing yang beroperasi;
  4. jumlah dan rincian armada angkutan udara nasional;
  5. rute dan kapasitas tersedia angkutan udara berjadwal domestik dan internasional;
  6. jenis pesawat yang dioperasikan pada rute penerbangan; g.   data lalu lintas angkutan udara di bandar udara umum; h.   tingkat ketepatan waktu jadwal pesawat udara;
  7. tingkat pelayanan angkutan udara;
  8. kelas dan status bandar udara;
  9. fasilitas penunjang bandar udara; serta
  10. hasil investigasi kecelakaan dan kejadian pesawat udara yang tidak digolongkan informasi yang bersifat rahasia.

 

Pasal 377

 

Penyelenggaraan sistem informasi penerbangan dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

 

Pasal 378

 

Iklan di daerah lingkungan kerja bandar udara harus memenuhi ketentuan:

  1. tidak   mengganggu   keselamatan   dan   keamanan penerbangan;
  2. tidak mengganggu informasi dan pelayanan penerbangan;

dan

  1. tidak merusak estetika bandar udara.

 

Pasal 379

 

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang penerbangan wajib menyampaikan data dan informasi kegiatannya kepada Menteri.

 

(2) Menteri melakukan pemutakhiran data dan informasi penerbangan secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

(3)   Data dan informasi penerbangan didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

 

(4) Pengelolaan sistem informasi penerbangan oleh Menteri dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.

 

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan sistem informasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 380

 

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif.

 

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

BAB XIX SUMBER DAYA MANUSIA

Bagian Kesatu Penyediaan dan Pengembangan

 

Pasal 381

 

(1)   Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan.

 

(2)   Penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

 

(3) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terdiri atas sumber daya manusia di bidang:

  1. pesawat udara;
  2. angkutan udara;
  3. kebandarudaraan;
  4. navigasi penerbangan;
  5. keselamatan penerbangan; dan f. keamanan penerbangan.

 

(4)   Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menetapkan kebijakan penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan yang mencakup:

  1. perencanaan sumber daya manusia (manpower

 

 

  1. planning);

pendidikan dan pelatihan;

  1. d. perluasan kesempatan kerja; serta pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.

 

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Penerbangan

 

Pasal 382

 

(1) Pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

 

(2) Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

 

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

paling sedikit meliputi:

  1. peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik di bidang penerbangan;
  2. kurikulum dan silabus serta metoda pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan standar yang ditetapkan;

 

  1. penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi organisasi atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan; serta
  2. modernisasi dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

 

Pasal 383

 

(1)   Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan/atau nonformal.

 

(2)   Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

(3)   Jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat persetujuan Menteri.

 

Pasal 384

 

(1)   Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang penerbangan disusun dalam model yang ditetapkan oleh Menteri.

 

(2) Model pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

  1. jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
  2. persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;
  3. kurikulum silabus dan metode pendidikan dan pelatihan;
  4. persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;
  5. standar prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
  6. persyaratan     penyelenggaraan     pendidikan     dan pelatihan;
  7. standar penetapan biaya pendidikan dan pelatihan;

serta

  1. pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan pelatihan.

 

 

Pasal 385

 

Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

 

Pasal 386

 

Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.

 

Pasal 387

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga Sertifikat Kompetensi dan Lisensi

 

Pasal 388

 

Penyelenggara pendidikan dan pelatihan wajib memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.

 

Pasal 389

 

Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 390

 

Dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya.

 

Pasal 391

 

Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang menyelenggarakan kegiatan di bidang penerbangan wajib:

  1. mempekerjakan personel penerbangan yang memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389;

 

 

  1. menyusun program pelatihan di bidang penerbangan untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi personel penerbangan yang dipekerjakannya.

 

Pasal 392

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Keempat Kontribusi Penyedia Jasa Penerbangan

 

Pasal 393

 

(1)   Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang memiliki kegiatan di bidang penerbangan wajib memberikan kontribusi dalam menunjang penyediaan dan pengembangan personel di bidang penerbangan.

 

(2) Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:

  1. pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan;
  2. pembangunan lembaga dan/atau penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan;
  3. kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada; dan/atau
  4. pemberian kesempatan kepada peserta pendidikan dan pelatihan untuk praktek kerja.

 

Pasal 394

 

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan izin; atau d. pencabutan izin.

 

 

Bagian Kelima Pengaturan Waktu Kerja

 

Pasal 395

 

(1) Untuk menjamin keselamatan penerbangan harus dilakukan pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat bagi personel operasional penerbangan.

 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

 

BAB XX PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 396

(1) Dalam   rangka   meningkatkan   penyelenggaraan penerbangan secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan penerbangan.

 

(2)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  1. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan penerbangan;
  2. memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang penerbangan;
  3. memberikan     masukan     kepada     Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;

a

  1. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepad .

pejabat yang berwenang terhadap kegiatan

penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;

  1. melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak- sesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan;
  2. melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap pesawat udara;

 

  1. mengutamakan   dan   mempromosikan   budaya keselamatan penerbangan; dan/atau
  2. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.

 

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa penerbangan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.

 

(4)   Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada   ayat   (2),   masyarakat   ikut   bertanggung   jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

Pasal 397

 

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi

kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

 

Pasal 398

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

BAB XXI PENYIDIKAN

Pasal 399

(1)   Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

 

(2)   Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.

 

Pasal 400

 

(1) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan sebagai berikut:

  1. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
  2. menerima laporan tentang adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
  3. memanggil   orang   untuk   didengar   dan   diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang penerbangan;
  4. melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
  5. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
  6. memotret     dan/atau     merekam     melalui     media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
  7. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana penerbangan;
  8. mengambil sidik jari dan identitas orang;
  9. menggeledah   pesawat   udara   dan   tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
  10. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
  11. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
  12. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan;
  13. menghentikan proses penyidikan; dan
  14. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana di bidang penerbangan.

 

(2)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

BAB XXII KETENTUAN PIDANA

Pasal 401

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 402

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 403

 

Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 404

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 405

 

Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

 

Pasal 406

 

(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal 34   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

 

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 407

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua   miliar lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 408

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 409

 

Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 410

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 411

 

Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 412

 

(1) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

(2) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

(3) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54   huruf c   dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(4) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengganggu ketenteraman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54   huruf e   dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

 

(5) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi     penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f   dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(6)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

 

(7)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

 

Pasal 413

 

(1)   Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 414

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

 

Pasal 415

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

Pasal 416

 

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 417

 

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 418

 

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 419

 

(1) Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

 

 

Pasal 420

 

Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga   yang   melanggar   ketentuan   pengangkutan   barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 421

 

(1)   Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

(2) Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 422

 

(1)   Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

(3)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

 

 

Pasal 423

 

(1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara   paling   lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 424

 

(1) Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

(2) Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa:

  1. musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau
  2. dampak lingkungan di sekitar bandar udara,

yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10   (sepuluh)   tahun   dan   denda   paling   banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 425

 

Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

 

Pasal 426

 

Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 427

 

Setiap orang yang mengoperasikan   bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

 

Pasal 428

 

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

 

Pasal 429

 

Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 430

 

(1)   Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 431

 

(1) Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio

penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan atau

menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara

langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan

penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

Pasal 432

 

Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 433

 

Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 434

 

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

 

Pasal 435

 

Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama

1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 436

 

(1)   Setiap   orang   yang   membawa   senjata,   barang   dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

 

(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

 

Pasal 437

 

(1) Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344   huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

 

(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

 

 

 

Pasal 438

 

(1)   Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain   yang   diindikasikan   sedang   menghadapi   bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

 

 

Pasal 439

 

(1) Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama

8 (delapan) tahun.

 

 

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

 

 

Pasal 440

 

 

Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 441

 

(1) Tindak pidana di bidang penerbangan dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

 

(2) Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

 

Pasal 442

 

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

 

Pasal 443

 

Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan

3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.

 

 

BAB XXIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 444

 

Setiap kepentingan internasional dalam objek pesawat udara yang dibuat sesuai dengan dan setelah berlakunya ketentuan dalam konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak (Convention on International Interests in Mobile Equipment) dan protokol mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara (Protocol to the Convention on Interests on Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment) tersebut di Indonesia yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional tetap sah dan dapat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini sampai dihapusnya pendaftaran atau berakhirnya masa berlaku sebagaimana tercantum dalam pendaftaran.

 

 

Pasal 445

 

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang- Undang ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai dengan izin yang dimiliki dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.

 

Pasal 446

 

Kantor administrator bandar udara, kantor bandar udara, dan cabang badan usaha kebandarudaraan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya otoritas bandar udara berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Pasal 447

 

Bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah diselenggarakan   berdasarkan   Undang-Undang   Nomor 15

Tahun 1992 tentang Penerbangan tetap dapat menyelenggarakan kegiatannya dan wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini     paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 448

 

(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang telah menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga   tetap   berlaku   sampai   perjanjian   kerja   sama tersebut berakhir.

 

(2) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini.

 

Pasal 449

 

Komite Nasional Keselamatan Transportasi tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya komite nasional berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 450

 

Fungsi pelayanan sertifikasi dan pengawasan tetap dilaksanakan secara fungsional oleh unit di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan umum berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Pasal 451

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penyelenggaraan navigasi penerbangan tetap menyelenggarakan kegiatan penyelenggaraan navigasi penerbangan sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi berdasarkan Undang-Undang ini.

 

BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 452

(1)   Peraturan Pemerintah pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.

 

(2) Peraturan Menteri pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.

 

Pasal 453

 

Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha bandar udara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

 

Pasal 454

 

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang- Undang ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.

 

 

Pasal 455

 

Otoritas bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara harus sudah terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 456

 

Tatanan kebandarudaraan nasional harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 457

 

Rencana induk bandar udara pada bandar udara yang beroperasi harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 458

 

Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 459

 

Lembaga penyelenggara pelayanan umum harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 460

 

Lembaga   penyelenggara   pelayanan   navigasi   penerbangan harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.

 

Pasal 461

 

Program keselamatan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

 

Pasal 462

 

Komite nasional harus sudah terbentuk paling lambat 2 (dua)

tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 463

 

Program keamanan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 464

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Pasal 465

 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

 

Pasal 466

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

Disahkan di Jakarta

 

Pada tanggal 12 Januari 2009

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

  1. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

 

 

Diundangkan di Jakarta

 

Pada tanggal 12 Januari 2009

 

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

ttd.

 

 

ANDI MATTALATTA

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 1

 

Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,

 

 

 

 

 

 

Setio Sapto Nugroho

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENJELASAN  ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG

 

 

PENERBANGAN

 

 

 

 

  1. UMUM

 

Berkat rahmat   Tuhan Yang Maha   Esa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, serta ruang udara yang luas. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan internasional.

 

Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang memiliki posisi penting dan strategis dalam pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan. Transportasi juga merupakan sarana dalam memperlancar roda perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat.

 

Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran transportasi tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat, aman, efektif, dan efisien.

 

Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri, perlu dikembangkan agar mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas, baik domestik maupun internasional. Pengembangan penerbangan ditata dalam satu kesatuan sistem dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan prasarana dan sarana penerbangan,     metoda, prosedur, dan peraturan sehingga berdaya guna serta berhasil guna.

 

 

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan perlu disempurnakan guna menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan paradigma dan lingkungan strategis, termasuk otonomi daerah, kompetisi di tingkat regional dan global, peran serta masyarakat, persaingan usaha, konvensi internasional tentang penerbangan, perlindungan profesi, serta perlindungan konsumen.

 

Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang ini bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta kenusantaraan.

 

Atas dasar hal tersebut disusunlah undang-undang tentang penerbangan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 15 tahun

1992, sehingga penyelenggaraan penerbangan sebagai sebuah sistem

dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, serta memupuk dan mengembangkan jiwa kedirgantaraan dengan mengutamakan faktor keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.

 

Dalam   Undang-Undang   ini   diatur   mengenai   hak,   kewajiban,   serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi serta memberi kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengembangkan usaha-usaha tertentu di bandar udara yang tidak terkait langsung dengan keselamatan penerbangan.

 

Dalam Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator, operator, dan penyedia jasa penerbangan. Di samping itu, juga dilakukan penggabungan beberapa penyelenggara yang ada menjadi satu penyelenggara pelayanan navigasi serta untuk sertifikasi dan registrasi pesawat udara juga dibentuk unit pelayanan otonom, dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak berorientasi pada keuntungan, secara finansial dapat mandiri, serta biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

 

Penerbangan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya yang pokok-pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut.

 

  1. Pemanfaatan wilayah udara merupakan implementasi dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang utuh dan eksklusif atas ruang udaranya, yang memuat tatanan ruang udara nasional, penyelenggaraan pelayanan, personel dan fasilitas navigasi penerbangan, serta pengaturan tentang tata cara navigasi, komunikasi penerbangan, pengamatan dan larangan mengganggu pelayanan navigasi penerbangan, termasuk pemberian sanksi.

 

Tatanan ruang udara nasional ditetapkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal dalam rangka keselamatan penerbangan dengan mengacu pada peraturan nasional dan regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organisation/ICAO) yang terkait dengan penetapan dan penggunaan ruang udara. Dalam penggunaan ruang udara tersebut, diberikan pelayanan oleh Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, terdiri atas pelayanan lalu lintas penerbangan, komunikasi penerbangan, informasi aeronautika, informasi meteorologi penerbangan, serta informasi pencarian dan pertolongan. Guna mendukung kelancaran kegiatan penerbangan serta keselamatan penerbangan, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan menyiapkan personel yang kompeten, memasang dan mengoperasikan serta merawat fasilitas navigasi penerbangan.

 

Untuk menjaga keselamatan penerbangan, dalam tata cara bernavigasi, penyelenggara dan pengguna pelayanan navigasi penerbangan diwajibkan mematuhi semua ketentuan yang berlaku. Di samping itu, diatur izin penggunaan frekuensi radio yang dialokasikan   untuk   penerbangan,   dan   pemberian   rekomendasi

 

 

penggunaan frekuensi radio di luar alokasi frekuensi yang sudah ditetapkan untuk kegiatan penerbangan, serta dilakukan pembatasan, larangan, dan sanksi terhadap kegiatan yang mengganggu pelayanan navigasi penerbangan.

 

Wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasikan dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

  1. Karena penting dan strategisnya peranan penerbangan untuk hajat hidup orang banyak, penerbangan dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa penataan struktur kelembagaan, peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan skala prioritas, peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia, pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. Pembinaan yang dilakukan   oleh Pemerintah tersebut meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

 

  1. Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia penerbangan tanpa batas hak angkut (open sky policy), kerja sama bilateral, multilateral, dan plurilateral, asas resiprokal, keadilan (fairness), dan cabotage, aliansi penerbangan, jaringan rute pengumpul (hub) dan pengumpan (spoke), serta perkuatan industri penerbangan dalam negeri, pengaturan angkutan udara difokuskan untuk menciptakan iklim yang kondusif di bidang jasa angkutan udara, dengan menetapkan hak dan kewajiban yang seimbang, standar pelayanan prima, dengan mengutamakan perlindungan terhadap pengguna jasa.

 

Dalam Undang-Undang ini juga diatur persyaratan badan usaha angkutan udara agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan kompetitif secara nasional dan internasional. Selanjutnya, untuk membuka daerah-daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia, Undang-Undang ini tetap menjamin pelayanan angkutan udara perintis dalam upaya memberikan stimulus bagi daerah-daerah guna peningkatan kegiatan ekonomi.

 

Dalam upaya pemberdayaan industri penerbangan nasional, Undang- Undang ini juga memuat ketentuan mengenai kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang mengatur objek pesawat

 

 

udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha. Pengaturan tersebut mengacu pada Konvensi Internasional dalam peralatan bergerak (Convention on international interest in mobile equipment) dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara (Protocol to the convention on interest in mobile equipment on matters specific to Aircraft equipment), sebagai konsekuensi diratifikasinya konvensi dan protokol yang biasa disebut Cape Town Convention.

 

  1. Dalam rangka menjamin penyelenggaraan kebandarudaraan sebagai pusat kegiatan pelayanan angkutan udara dan unit bisnis yang efektif, efisien, dan mampu menggerakkan perekonomian wilayah, Undang-Undang ini mengatur persyaratan, prosedur, dan standar kebandarudaraan, tatanan kebandarudaraan nasional, penetapan lokasi, pengoperasian, fasilitas dan personel bandar udara, pengendalian daerah lingkungan kerja, dan kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara untuk kepentingan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelestarian lingkungan.

 

Dalam penyelenggaraan bandar udara diatur juga pemisahan yang tegas antara regulator dan operator bandar udara dengan dibentuknya Otoritas Bandar Udara, serta memberi peluang lebih luas terhadap peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bandar udara.

 

  1. Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, Undang-Undang ini mengatur penetapan program keselamatan penerbangan nasional, program keamanan penerbangan nasional, dan program budaya tindakan keselamatan yang mengacu pada regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Program keselamatan penerbangan nasional memuat peraturan keselamatan, sasaran keselamatan, sistem pelaporan keselamatan, analisis data dan pertukaran informasi keselamatan   (safety data analysis and exchange), kegiatan investigasi kecelakaan dan kejadian (accident and incident investigation), promosi keselamatan   (safety promotion), pengawasan keselamatan   (safety oversight), dan penegakan hukum (law enforcement). Sedangkan program keamanan penerbangan nasional memuat peraturan keamanan, sasaran keamanan, personel keamanan, pembagian tanggung jawab keamanan, perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas navigasi, pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang di pesawat udara, penanggulangan tindakan melawan hukum, penyesuaian

 

 

sistem keamanan terhadap tingkat ancaman keamanan, dan pengawasan keamanan penerbangan.

 

  1. Dalam upaya memberikan jaminan pelayanan sertifikasi dan inspeksi keselamatan yang kredibel, transparan, dan akuntabel, serta meningkatkan kompetensi sumber daya manusia untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, Undang-Undang ini mengatur pembentukan penyelenggara pelayanan umum yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pola penganggaran berbasis kinerja dengan skala prioritas, efisiensi, dan efektivitas.

 

  1. Untuk mengetahui penyebab setiap kecelakaan dan kejadian serius pesawat udara sipil dan dalam rangka menegakkan etika profesi, melaksanakan mediasi, dan menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama, diatur pula pembentukan komite nasional yang bertanggung jawab kepada Presiden, dan untuk keperluan penyelidikan lanjutan, komite tersebut membentuk majelis profesi penerbangan.

 

  1. Dalam Undang-Undang ini diatur pula sistem informasi penerbangan melalui jaringan informasi yang efektif, efisien, dan terpadu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal, diatur peran serta masyarakat dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.

 

Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional dan internasional sepanjang tidak bertentangan tetap berlaku dan merupakan peraturan yang saling melengkapi.

 

Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan lainnya.

 

 

 

  1. PASAL DEMI PASAL

 

 

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”asas manfaat” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”asas usaha bersama dan kekeluargaan” adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan ”asas adil dan merata” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.

 

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

 

 

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi, baik intra maupun antarmoda transportasi.

 

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas tegaknya hukum” adalah undang- undang ini mewajibkan Pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.

 

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah penyelenggaraan penerbangan harus bersendikan pada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam penerbangan, dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri.

 

Huruf i

Yang dimaksud dengan ”asas keterbukaan dan anti-monopoli” adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

 

Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan hidup” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

 

Huruf k

Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan negara” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Huruf l

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Huruf m

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah setiap penyelenggaraan penerbangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan penyelenggaraan penerbangan yang dilakukan oleh daerah merupakan bagian dari sistem penerbangan nasional yang berdasarkan Pancasila.

 

Pasal 5

Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.

 

Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan perundang- undangan di bidang pertahanan negara.

 

Untuk dapat menjaga kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus dilakukan penguasaan dan pengembangan teknologi agar Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat setinggi mungkin menguasai wilayah udaranya untuk kepentingan yang seluas-luasnya bagi masyarakat khususnya untuk kepentingan penerbangan.

 

Pasal 6

Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

 

Pasal 7

Ayat (1)

Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka keselamatan masyarakat luas, keselamatan penerbangan, perekonomian nasional, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

 

Yang dimaksud dengan “kawasan udara terlarang (prohibited area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara. Pembatasan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau istana Presiden.

 

Yang dimaksud dengan “kawasan udara terbatas (restricted area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan tertentu (pesawat udara TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif), kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan sipil. Pembatasan dapat berupa pembatasan ketinggian dan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, misalnya instalasi atau kawasan militer.

 

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “melanggar wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin.

 

Ayat (3)

Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini diperlukan untuk langkah tindak lanjut yang dilakukan oleh aparat yang tugas dan bertanggung jawab di bidang pertahanan negara.

 

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “seluruh muatannya” adalah semua yang terangkut dalam pesawat udara antara lain penumpang, kargo, pos, dan perlengkapan lainnya yang ada dalam pesawat udara.

 

 

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara” adalah bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

 

 

Pasal 11

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kewenangannya” adalah kewenangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

Pasal 15

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “uji tipe”, antara lain, meliputi:

  1. pengujian rangka;
  2. pengujian mesin;
  3. pengujian fungsi sistem di darat;
  4. pengujian fungsi sistem di udara; dan e. pengujian kemampuan terbang.

 

Pasal 18

Huruf b

Dalam sertifikat tipe tambahan antara lain termasuk pemberian sertifikat peralatan telekomunikasi di pesawat udara untuk mencegah ancaman keselamatan dan keamanan penerbangan, misalnya peralatan telekomunikasi tersebut tidak mengganggu (interferensi) navigasi penerbangan.

 

Pasal 24

Tanda pendaftaran dapat berupa tanda pendaftaran Indonesia atau tanda pendaftaran asing.

 

Pasal 25

Yang dimaksud dengan “tanda pendaftaran Indonesia” terdiri atas 3 (tiga) huruf.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak;

 

 

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tanda kebangsaan Indonesia” adalah pemberian identitas di pesawat udara yang saat ini digunakan Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 2 (dua) huruf yaitu PK. Untuk itu, tidak semua pesawat udara yang telah didaftarkan harus diberikan tanda kebangsaan.

Tanda Kebangsaan Indonesia melekat pada sertifikat pendaftaran.

 

Ayat (3)

Pembebasan dari tanda kebangsaan dengan pertimbangan bahwa pesawat udara tersebut daerah operasinya dibatasi dan penerbangan yang akan dilakukan tidak melewati batas wilayah teritorial (beroperasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonseia).

 

Pembebasan tanda   kebangsaan Indonesia tidak berarti tidak memiliki tanda pendaftaran.

 

Pasal 29

Huruf a

Angka 6)

Yang dimaksud dengan “sengaja dirusak atau dihancurkan” dalam ketentuan ini adalah pesawat tersebut tidak akan digunakan lagi atau dialih fungsi pengunaannya seperti sebagai bahan praktek pendidikan, atau barang pajangan.

 

Angka 7)

Yang   dimaksud   dengan   “cedera   janji”   adalah   penyewa pesawat udara tidak memenuhi kesepakatan dalam perjanjian.

 

Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada huruf a angka 7)   mengacu   kepada   konvensi   tentang   kepentingan internasional   dalam   peralatan   bergerak   (Convention on International Interest in Mobile Equipment).

 

Pasal 36

Yang dimaksud dengan:

 

  1. “kategori transpor” terbatas pada pesawat terbang yang beban maksimal pada saat lepas landas (maximum take off weight/MTOW) lebih besar atau sama dengan 5.700 kilogram.

 

  1. “kategori normal” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk (seat) untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 5.700 kilogram dan untuk pengoperasian non-aerobatik.

 

  1. “kategori kegunaan” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama 5.700 kilogram dan untuk pengoperasian aerobatik yang terbatas (limited aerobatic).

 

  1. “kategori aerobatik” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 5.700 kilogramdan untuk pengoperasian tanpa batas (full aerobatic).

 

  1. “kategori komuter“ terbatas pada pesawat terbang yang memiliki baling-baling pendorong (propeller), bermesin lebih dari satu (multiengines), memiliki konfigurasi tempat duduk lebih kecil atau sama dengan 19 selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 8.500 kilogram dan untuk pengoperasian non-aerobatik.

 

Pasal 38

Yang dimaksud dengan:

  1. “Penggunaan pesawat udara secara terbatas” adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara secara terbatas untuk tujuan khusus antara lain pertanian, konservasi hutan, pemetaan, patroli, pemantauan cuaca, hujan buatan, dan periklanan.

 

  1. Penggunaan pesawat udara untuk percobaan adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara untuk tujuan:

1) penelitian dan pengembangan (research & development);

2) pembuktian kesesuaian dengan peraturan-peraturan

(showing compliance with regulations);

3) pelatihan awak pesawat (crew training);

4) pameran (exhibition);

5) perlombaan balap udara (air racing);

6) survei pasar (market surveys); dan

7) kegemaran/hobi kedirgantaraan.

 

  1. Penggunaan pesawat udara untuk kegiatan penerbangan yang bersifat khusus adalah izin terbang khusus yang diterbitkan untuk pengoperasian pesawat udara untuk keperluan:

1) perbaikan atau perawatan;

2) pengiriman atau ekspor pesawat udara;

3) uji terbang produksi (production flight test);

4) evakuasi pesawat dari daerah berbahaya; atau

5) demonstrasi terbang.

 

 

Pasal 42

Huruf e

Yang dimaksud dengan “personel manajemen yang kompeten” adalah personel yang telah memiliki sertifikat kecakapan.

 

 

Pasal 47

Ayat (1)

Huruf c

Perseorangan pemegang sertifikat ahli perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang.

 

 

Pasal 52

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah suatu keadaan yang memaksa sehingga harus dilakukan pendaratan di luar bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena terjadi kerusakan mesin, kehabisan bahan bakar, cuaca buruk, ancaman bom, atau pembajakan, teroris yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan apabila penerbangan tetap dilanjutkan.

 

Pasal 53

Ayat (1)

Kegiatan yang membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut antara lain terbang di luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan keselamatan, dan terbang di atas kawasan udara terlarang.

 

Pasal 55

Yang dimaksud dengan “selama terbang” adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi) di bandar udara tujuan.

 

Kewenangan kapten penerbang dalam ketentuan ini juga pada saat pendaratan darurat sampai dengan kewenangan tersebut diambil alih pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk dalam penanganan darurat.

 

Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk memberikan landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan penerbangan.

 

 

Pasal 56

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penumpang yang tidak mampu”, antara lain, orang cacat, orang buta huruf, dan anak-anak.

 

Pasal 58

Ayat (1)

 

Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara.

 

Personel operasi pesawat udara meliputi:

  1. penerbang; dan
  2. juru mesin pesawat udara.

 

Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:

  1. personel penunjang operasi penerbangan; dan b. personel kabin.

 

Personel perawatan pesawat udara, yaitu personel yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “sah” adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Yang dimaksud dengan “masih berlaku” adalah lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya.

 

Ayat (3)

Huruf b

Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah keterangan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan oleh unit kesehatan yang mempunyai kualifikasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan personel penerbangan.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “ujian” adalah suatu kegiatan untuk mengetahui kompetensi personel dalam rangka mendapatkan lisensi.

 

Pasal 59

Ayat (1)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”mempertahankan kemampuan yang dimiliki” adalah kewajiban minimal personel dalam melakukan pekerjaan dan mengikuti pelatihan ulang.

 

Pasal 62

Ayat (1)

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pihak kedua” adalah orang atau badan hukum yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah orang atau badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut.

 

Pasal 63

Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah:

  1. tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia;
  2. tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara;
  3. bencana alam; dan/atau d. bantuan kemanusiaan.

 

Yang dimaksud dengan “dalam waktu yang terbatas” adalah waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “perjanjian antarnegara” adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan.

 

Ayat (4)

Yang dimaksud “persyaratan kelaikudaraan” adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.

 

Pasal 67

. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tanda identitas” adalah tanda pendaftaran.

 

Pasal 68

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara negara, Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.

 

Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan negara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara negara.

 

Pasal 69

Yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah persetujuan terbang (flight approval).

 

Pasal 71

 

Yang dimaksud dengan “objek pesawat udara” adalah rangka pesawat udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang.

 

Yang dimaksud dengan “rangka pesawat udara” adalah rangka pesawat udara (selain rangka pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang apabila dipasang mesin-mesin pesawat udara yang sesuai pada rangka pesawat udara itu, disertifikasi oleh lembaga penerbang yang berwenang untuk mengangkut:

  1. paling sedikit 8 orang termasuk awak pesawat; atau b. barang-barang yang lebih dari 2.750 kg,

beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang terpasang dimasukkan atau terkait (selain mesin pesawat udara) dan seluruh data buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.

 

Yang dimaksud dengan “mesin pesawat udara” adalah mesin pesawat udara (selain mesin pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang digerakkan oleh tenaga propulsi jet atau turbin atau teknologi piston dan:

 

  1. dalam hal mesin pesawat udara dengan propulsi jet, mempunyai paling sedikit gaya dorong sebesar 1.750 lbs atau yang setara; dan
  2. dalam hal mesin-mesin pesawat udara yang diberi tenaga oleh turbin atau piston, mempunyai paling sedikit 550 tenaga kuda yang digunakan untuk lepas landas rata-rata atau yang setara,

beserta seluruh modul dan perlengkapan, komponen dan peralatan lain yang terpasang, dimasukan atau terkait, dan seluruh data, buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.

 

Yang dimaksud dengan “helikopter” adalah helikopter tertentu (yang tidak digunakan dalam dinas-dinas militer, beacukai, atau kepolisian) yang disertifikasi oleh lembaga penerbangan yang berwenang untuk mengangkut:

  1. paling sedikit 5 orang termasuk awak, atau
  2. barang yang lebih dari 450 kg, beserta   seluruh   perlengkapan,   komponen,   dan   peralatan   yang

terpasang, dimasukkan atau terkait (termasuk rotor-rotor) dan seluruh data, buku petunjuk, dan catatan yang berhubungan dengan itu.

 

Yang dimaksud dengan “kepentingan internasional” adalah suatu kepentingan yang diperoleh kreditur yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian hak sewa guna usaha yang tunduk pada konvensi tentang kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan udara (Protocol to the Convention on Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment).

 

Yang dimaksud dengan “pemberian hak jaminan kebendaan (security agreement)” adalah suatu perjanjian di mana pemberi hak jaminan kebendaan (chargor) memberikan atau menyetujui untuk memberikan kepada penerima hak jaminan kebendaan (chargee) suatu kepentingan (termasuk kepentingan kepemilikan) atas objek pesawat udara untuk menjamin pemenuhan kewajiban yang terjadi atau yang akan terjadi dari pemberi hak jaminan kebendaan atau pihak ketiga.

 

Yang dimaksud dengan “perjanjian pengikatan hak bersyarat (title reservation agreement)” adalah suatu perjanjian penjualan objek pesawat udara dengan ketentuan bahwa kepemilikan tidak akan beralih sampai terpenuhinya persyaratan yang tercantum dalam perjanjian.

 

Yang dimaksud dengan “perjanjian sewa guna usaha (leasing agreement)” adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa guna usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima sewa guna usaha/lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara (dengan atau tanpa opsi untuk membeli) dengan kompensasi berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.

 

Pasal 72

Yang dimaksud dengan “berdasarkan hukum yang dipilih” adalah para pihak dapat memilih hukum yang akan mengatur hak dan kewajiban   kontraktual   mereka   berdasarkan   perjanjian   tersebut dengan atau tanpa adanya titik taut antara hukum yang dipilih dengan   salah   satu   pihak   pada   perjanjian   atau   pelaksanaan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian tersebut. Para pihak dalam perjanjian tersebut juga diberikan kebebasan untuk memilih yurisdiksi pada pengadilan dari Negara peserta konvensi dan protokol tersebut dengan atau tanpa adanya titik taut antara pengadilan yang dipilih dengan para pihak atau dengan transaksi yang timbul dari perjanjian tersebut.

 

Pasal 74

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kuasa memohon deregistrasi” adalah kuasa untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor yang tidak dapat ditarik kembali (irrevocable de-registration and export request authorization) sebagaimana dimaksud dalam konvensi dan protokol tersebut.

 

Pasal 76

Yang dimaksud dengan ”instansi pemerintah lainnya”, antara lain, instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang bea cukai, perpajakan, luar negeri, dan pertahanan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

 

Pasal 78

Yang dimaksud dengan “kantor pendaftaran internasional” adalah fasilitas pendaftaran internasional yang dibentuk untuk keperluan konvensi dan protokol tersebut dan akan menjadi satu-satunya kantor pendaftaran bagi kepentingan internasional dalam objek pesawat udara.

 

Pasal 79

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”pengadilan negeri” adalah pengadilan negeri yang dipilih oleh para pihak atau pengadilan negeri Indonesia yang memiliki kompetensi relatif dalam hal tidak adanya pilihan pengadilan dalam perjanjian.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “jangka waktu” adalah:

  1. paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak permohonan diterima untuk memberikan perlindungan terhadap objek pesawat udara dan nilainya, penguasaan, pengendalian atau pengawasan, dan/atau larangan memindahkan objek pesawat udara; dan

 

Pasal 80

  1. paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan diterima untuk memberikan sewa guna usaha atau pengelolaan objek pesawat udara dan pendapatan yang diterima dari hal tersebut, serta penjualan dan penggunaan hasil penjualan dari objek pesawat udara.

 

Yang dimaksud dengan “jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah” adalah jangka waktu yang dinyatakan dalam deklarasi pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.

 

Pasal 81

Yang dimaksud dengan “tagihan-tagihan tertentu” adalah tagihan- tagihan yang dinyatakan dalam deklarasi pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut, yaitu:

  1. hak karyawan perusahaan angkutan udara atas gaji yang belum dibayar yang timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat udara;
  2. hak dari otoritas di Indonesia terkait dengan pajak atau tagihan

lainnya yang belum dibayar yang timbul dari atau terkait dengan penggunaan objek pesawat udara, dan timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat udara tersebut; dan

  1. hak lainnya dari pihak yang memperbaiki objek pesawat udara yang berada dalam penguasaannya sepanjang perbaikan tersebut mempunyai nilai tambah bagi objek pesawat udara tersebut.

 

Pasal 82

Yang dimaksud dengan “ketentuan hukum khusus” adalah dalam hal terjadi pertentangan atau perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam konvensi, protokol atau deklarasi dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, ketentuan-ketentuan dari konvensi, protokol, dan deklarasi tersebut yang berlaku.

 

Pasal 83

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kegiatan angkutan udara niaga berjadwal” adalah pelayanan angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur.

Yang dimaksud dengan “kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal” adalah pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur.

 

Pasal 85

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi   oleh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.

 

Yang dimaksud dengan “bersifat sementara” adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama

6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.

 

Pasal 86

Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “perjanjian bilateral” adalah perjanjian angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan 1 (satu) negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting party).

 

Yang dimaksud dengan “perjanjian multilateral” adalah perjanjian angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian ini bersifat tetap.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional”, antara lain, kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional, kepentingan ekonomi nasional, dan kelangsungan usaha badan usaha angkutan udara nasional.

 

Pasal 87

Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “perjanjian plurilateral” adalah perjanjian yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas negara atau antarorganisasi komunitas negara, yang keanggotaannya bersifat terbuka.

 

Pasal 90

Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “tanpa batasan hak angkut udara” adalah pelaksanaan hak angkut udara tidak membatasi, antara lain, tempat tujuan, frekuensi penerbangan, kapasitas angkut, penerapan tarif, dan kebebasan di udara (freedom of the air).

 

Yang dimaksud dengan “pembukaan pasar angkutan udara” adalah memberikan peluang/kesempatan kepada perusahaan angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari dan ke wilayah Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut udara.

 

Yang dimaksud dengan “secara bertahap” adalah dilakukan, antara lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan angkutan udara nasional.

 

Pasal 91

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu.

 

 

 

 

Pasal 92

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kelompok penumpang yang melakukan paket perjalanan”, antara lain, untuk keperluan haji, umroh, paket wisata, dan MICE.

 

Huruf e

Yang dimaksud dengan “bentuk kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya”, antara lain, dalam satu pesawat terdiri dari berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung.

 

Pasal 93

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “menteri terkait” adalah menteri yang membidangi urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan menteri yang membidangi urusan pertahanan berupa security clearance.

 

Pasal 97

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pelayanan standar maksimum”, antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pelayanan standar menengah”, antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu.

Huruf c

Yang   dimaksud   dengan   “pelayanan   standar   minimum”, antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat.

 

Pasal 101

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu”, antara lain, adalah lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kegiatan keudaraan” misalnya kegiatan penyemprotan pertanian, pemadaman kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian dan pertolongan, kalibrasi, serta patroli.

 

Pasal 102

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah atau wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga.

 

Yang dimaksud dengan “persyaratan tertentu”, antara lain, asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan manifes kepada penyelenggara bandar udara.

 

Yang dimaksud dengan “bersifat sementara” adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.

 

 

Pasal 104

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah kesepakatan antara Pemerintah dan badan usaha angkutan udara niaga nasional setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kompensasi lainnya”, antara lain, memberikan subsidi tambahan.

 

Pasal 105

Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah tidak tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani kegiatan angkutan udara perintis pada suatu lokasi.

 

Pasal 112

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “evaluasi” adalah evaluasi terhadap kinerja badan usaha angkutan udara niaga.

 

Pasal 113

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dipindahtangankan” adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi).

 

Pasal 116

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “evaluasi” adalah evaluasi kinerja pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

 

Pasal 118

Ayat (1) Huruf a

Yang   dimaksud   dengan   “melakukan   kegiatan angkutan udara secara nyata” adalah pengoperasian pesawat udara, sedangkan kegiatan pendirian kantor perusahaan dan perwakilan, penyiapan sumber daya manusia, dan penyiapan administrasi lainnya yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga belum dikategorikan melakukan kegiatan angkutan udara.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “memiliki” adalah pesawat udara yang diperoleh dari pembelian yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan (bill of sale).

 

Pasal 122

Ayat (1)

 

Menteri dalam menetapkan jaringan dan rute penerbangan bertujuan untuk menjamin tersedianya jasa angkutan udara ke seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan keterpaduan antarmoda angkutan dan kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga.

 

Pasal 126

Ayat (2)

Dalam penetapan golongan tarif angkutan udara niaga berjadwal domestik, Menteri memperhatikan kepentingan keselamatan dan keamanan penerbangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga.

 

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “tarif jarak” adalah besaran tarif per rute penerbangan per satu kali penerbangan, untuk setiap penumpang yang merupakan hasil perkalian antara tarif dasar dengan jarak serta dengan memperhatikan kemampuan daya beli. Tarif jarak terdiri dari biaya pokok rata-rata ditambah dengan keuntungan wajar.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pajak” adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “iuran wajib asuransi” adalah asuransi pertanggungan kecelakaan penumpang yang dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang.

 

 

 

 

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “biaya tuslah/tambahan (surcharge)” adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udara di luar perhitungan penetapan tarif jarak antara lain biaya fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya yang ditanggung oleh perusahaan angkutan udara karena pada saat berangkat atau pulang penerbangan tanpa penumpang, misalnya pada saat hari raya.

 

Pasal 127

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi” adalah harga jasa maksimum pada suatu rute tertentu di dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang kelas ekonomi yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan asosiasi penerbangan nasional dengan mempertimbangkan masukan dari asosiasi pengguna jasa penerbangan.

 

Yang dimaksud dengan “pelayanan kelas ekonomi” adalah jasa angkutan udara yang disediakan oleh badan usaha angkutan udara niaga dengan pelayanan minimal yang memenuhi aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “perlindungan konsumen” adalah melindungi konsumen dari pemberlakuan tarif tinggi oleh badan usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari informasi/iklan tarif penerbangan yang berpotensi merugikan/menyesatkan sehingga ditetapkan tarif batas atas.

 

Yang dimaksud dengan “perlindungan dari persaingan tidak sehat” adalah melindungi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari penetapan tarif rendah oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya yang bertujuan untuk mengeluarkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pesaing dari rute yang dilayani.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah dilakukan penyebarluasan tarif batas atas yang telah ditetapkan oleh Menteri, baik yang dilakukan Menteri maupun oleh badan usaha angkutan udara niaga, antara lain, melalui media cetak dan elektronika dan/atau dipasang pada setiap tempat penjualan tiket pesawat udara.

 

 

Pasal 131

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha penunjang angkutan udara” adalah kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga antara lain sistem reservasi melalui komputer (computerized reservation system), pemasaran dan penjualan tiket pesawat atau agen penjualan umum (ticket marketing and selling), pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo (ground handling), dan penyewaan pesawat udara (aircraft leasing).

 

 

Pasal 134

Ayat (1)

Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus bagi penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan dengan layak.

 

Yang dimaksud dengan “fasilitas khusus” dapat berupa penyediaan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.

 

Yang dimaksud dengan “penyandang cacat”, antara lain, penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, dan tuna netra.

 

Tidak termasuk dalam pengertian “orang sakit” dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (3)

Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dapat menetapkan biaya tambahan dalam hal orang sakit membutuhkan tempat duduk tambahan selama penerbangan.

 

Pasal 136

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “barang khusus”, antara lain, berupa hewan, ikan, tanaman, buah-buahan, sayur-mayur, daging, peralatan olahraga, dan alat musik.

 

Pasal 140

Ayat (1)

 

Ketentuan ini dimaksudkan agar badan usaha angkutan udara niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

 

Pasal 141

Ayat (1)

Yang   dimaksud   dengan   “kejadian   angkutan   udara”   adalah kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara.

 

Yang dimaksud dengan “cacat tetap” adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.

 

Pasal 144

Yang dimaksud dengan “dalam pengawasan pengangkut” adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan.

 

 

 

Pasal 146

 

Yang dimaksud dengan “faktor cuaca” adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.

 

Yang dimaksud dengan “teknis operasional” antara lain:

  1. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
  2. lingkungan   menuju   bandar   udara   atau   landasan   terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
  3. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
  4. keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).

 

Sedangkan yang tidak termasuk dengan “teknis operasional” antara lain:

  1. keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
  2. keterlambatan jasa boga (catering);
  3. keterlambatan penanganan di darat;
  4. menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight); dan
  5. ketidaksiapan pesawat udara.

 

Pasal 147

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penerbangan lain” adalah penerbangan dengan pesawat udara lain milik pengangkut atau pengangkut lainnya.

 

 

Pasal 150

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pas masuk pesawat udara” adalah tanda bukti calon penumpang telah melapor untuk berangkat dan dipergunakan sebagai tanda masuk ke pesawat udara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “tanda pengenal bagasi” adalah tanda bukti pengambilan bagasi tercatat milik penumpang.

 

Pasal 156

Ayat (1)

Lembar pertama untuk pengangkut kargo, ditandatangani oleh pengirim kargo, lembar kedua untuk penerima kargo yang ditandatangani oleh pengangkut kargo dan pengirim kargo yang dikirim bersama-sama dengan barang, sedangkan lembar ketiga untuk pengirim kargo yang ditandatangani oleh pengirim kargo dan pengangkut kargo sebagai bukti penerima barang oleh pengangkut kargo.

 

Pasal 159

Yang dimaksud dengan “harga kargo sebenarnya” adalah harga yang dinyatakan oleh pengirim kargo berdasarkan harga pasar atau harga yang ditetapkan sendiri.

Pasal 161

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “instansi terkait”, antara lain, instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, karantina hewan, dan tanaman.

 

Pasal 167

Yang dimaksud dengan “kerugian nyata” adalah kerugian yang didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat kejadian.

 

Pasal 171

Yang dimaksud dengan “mitra usaha” adalah pihak yang mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan pengangkut, misalnya yang menangani pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo.

 

Pasal 172

 

Ayat (1)

 

Penetapan batas ganti kerugian harus disesuaikan dengan perkembangan nilai mata uang.

 

Dengan pertimbangan bahwa tingkat hidup, kelangsungan hidup perusahaan, inflasi dan pendapatan per kapita serta umur rata- rata manusia, selalu mengalami perubahan, maka terhadap besaran   nilai ganti kerugian   hendaknya selalu di evaluasi sehingga dapat memenuhi keinginan, baik dari pengguna jasa maupun pemberi jasa.

 

Ayat (2)

 

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 174

Ayat (1)

Penerimaan bagasi tercatat tanpa klaim oleh penumpang merupakan bukti bahwa bagasi tercatat tersebut telah diambil dalam keadaan baik.

 

Pasal 175

Ayat (1)

Penerimaan kargo tanpa klaim oleh penerima kargo merupakan bukti bahwa kargo tersebut telah diambil dalam keadaan baik.

 

Pasal 176

Gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada korban.

 

Pasal 177

 

Yang dimaksud dengan “kerugian yang diderita penumpang atau pengirim” meliputi:

  1. untuk penumpang adalah meninggal dunia, luka-luka tubuh, keterlambatan, dan tidak terangkut; serta
  2. untuk bagasi tercatat dan kargo, adalah hilang, musnah, rusak, terlambat, dan tidak terangkut sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

 

Pasal 178

 

Cukup jelas. Pasal 179

Cukup jelas. Pasal 180

Yang dimaksud sekurang-kurangnya dalam ketentuan ini adalah

tanggung jawab ganti kerugian yang harus diberikan oleh pengangkut tidak boleh kurang dari yang ditetapkan oleh Menteri, tetapi penumpang dapat menuntut ganti kerugian lebih tinggi apabila dapat membuktikan kecelakaan yang terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengangkut.

 

Pasal 182

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “angkutan intermoda” adalah 1 (satu) rangkaian angkutan orang dan/atau kargo yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) moda angkutan.

 

Pasal 183

Yang dimaksud ”pihak pengangkut lain” adalah biro/agen perjalanan atau perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara yang bertindak sebagai pembuat kontrak pengangkutan (contracting carrier) dengan penumpang atau pengirim barang atau dengan seseorang yang bertindak atas nama penumpang atau pengirim barang untuk diangkut oleh perusahaan angkutan udara (actual carrier).

 

Pasal 187

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “usaha angkutan multimoda” adalah usaha angkutan dengan menggunakan paling sedikit dua moda angkutan yang berbeda atas dasar suatu kontrak angkutan multimoda dengan menggunakan satu dokumen angkutan multimoda (DAM) dari suatu tempat barang diterima oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penerimaan barang tersebut.

 

Pasal 189

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda bersifat terbatas” adalah tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda terhadap kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan adalah terbatas pada suatu jumlah yang sebanding dengan 2 (dua) setengah kali biaya angkut yang harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah biaya angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak transportasi multimoda.

 

Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban badan usaha angkutan multimoda tidak boleh melebihi batas tanggung jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap barang.

 

Pasal 197

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan skala pelayanan primer adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar atau sama dengan 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.

 

Yang dimaksud dengan skala pelayanan sekunder adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 1.000.000 (satu juta) dan lebih kecil dari 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.

 

Yang dimaksud dengan skala pelayanan tersier adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) terdekat yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 500.000 (lima ratus ribu) dan lebih kecil dari 1.000.000 (satu juta) orang per tahun.

 

Pasal 198

Yang dimaksud dengan “kapasitas pelayanan” adalah kemampuan bandar udara untuk melayani jenis pesawat udara terbesar dan jumlah penumpang/barang.

 

Pasal 199

Ayat (2)

Huruf b

Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah diketahui atau diukur antara lain dengan survei asal dan tujuan penumpang (origin and destination survey).

 

Pasal 200

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “perubahan kondisi lingkungan strategis”, antara lain, bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan nasional yang mengakibatkan perubahan batas wilayah provinsi.

 

 

 

Pasal 201

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “titik koordinat bandar udara” adalah titik yang dinyatakan dengan koordinat geografis.

 

Ayat (3)

Huruf d

Yang dimaksud dengan “kelayakan ekonomis” adalah kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pengembangan wilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan finansial” adalah kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan bagi badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan sosial” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh adanya bandar udara tidak akan meresahkan masyarakat sekitar serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar.

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan pengembangan wilayah” adalah   kelayakan   yang   dinilai   berdasarkan   kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan teknis pembangunan” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan faktor kesesuaian fisik dasar antara lain topografi, kondisi meteorologi dan geofisika, serta daya dukung tanah.

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan pengoperasian” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan jenis pesawat, pengaruh cuaca, penghalang, penggunaan ruang udara, dukungan navigasi penerbangan, serta prosedur pendaratan dan lepas landas.

 

 

Huruf e

 

Yang dimaksud dengan “kelayakan lingkungan” yaitu suatu kelayakan yang dinilai dari besarnya dampak yang akan ditimbulkan serta kemampuan mengurangi dampak (mitigasi), pada masa konstruksi, pengoperasian, dan/atau pada tahap pengembangan selanjutnya.

 

Pasal 202

 

Huruf a

 

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan “fasilitas” adalah:

 

  1. fasilitas pokok meliputi:

 

1) fasilitas keselamatan dan keamanan, antara lain Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran (PKP-PK), salvage, alat bantu pendaratan visual (Airfield Lighting System), sistem catu daya kelistrikan, dan pagar.

 

2) fasilitas sisi udara (airside facility), antara lain:

  1. a) landas pacu (runway);
  2. b) runway strip, Runway End Safety Area (RESA),

stopway, clearway;

  1. c) landas hubung (taxiway);
  2. d) landas parkir (apron);
  3. e) marka dan rambu; dan
  4. f) taman meteo (fasilitas dan eralatan pengamatan cuaca).

 

3) fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain:

  1. a) bangunan terminal penumpang;
  2. b) bangunan terminal kargo;
  3. c) menara pengatur lalu lintas penerbangan (control tower);
  4. d) bangunan operasional penerbangan;
  5. e) jalan masuk (access road);
  6. f) parkir kendaraan bermotor;
  7. g) depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
  8. h) bangunan hanggar;
  9. i) bangunan administrasi/perkantoran;
  10. j) marka dan rambu; serta
  11. k) fasilitas pengolahan limbah.

 

  1. fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung dan tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara dan memberikan nilai tambah secara ekonomis pada penyelenggaraan bandar udara, antara lain fasilitas perbengkelan pesawat udara, fasilitas pergudangan, penginapan/hotel, toko, restoran, dan lapangan golf.

 

Pasal 204

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter)” adalah suatu fasilitas/tempat di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai prosedur dan persyaratan keamanan dan pelayanan sebagaimana halnya di bandar udara.

 

Pasal 206

 

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas (approach and take-off area)” adalah suatu kawasan perpanjangan kedua ujung landas pacu, di bawah lintasan pesawat udara setelah lepas landas atau akan mendarat, yang dibatasi oleh ukuran panjang dan lebar tertentu.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan” adalah sebagian dari kawasan pendekatan yang berbatasan langsung dengan ujung-ujung landas pacu dan mempunyai ukuran tertentu, yang dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan transisi” adalah bidang dengan kemiringan tertentu sejajar dan berjarak tertentu dari sumbu landas pacu, pada bagian bawah dibatasi oleh titik perpotongan dengan garis-garis datar yang ditarik tegak lurus pada sumbu landas pacu, dan pada bagian atas dibatasi oleh garis perpotongan dengan permukaan horizontal dalam.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan horizontal dalam” adalah bidang datar di atas dan di sekitar bandar udara yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu untuk kepentingan pesawat udara melakukan terbang rendah pada waktu akan mendarat atau setelah lepas landas.

 

Huruf e

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan kerucut” adalah bidang dari suatu kerucut yang bagian bawahnya dibatasi oleh garis perpotongan dengan horizontal dalam dan bagian atasnya dibatasi oleh garis perpotongan dengan permukaan horizontal luar, masing-masing dengan radius dan ketinggian tertentu dihitung dari titik referensi yang ditentukan.

 

Huruf f

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan horizontal luar” adalah bidang datar di sekitar bandar udara yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu untuk kepentingan keselamatan dan efisiensi operasi penerbangan, antara lain, pada waktu pesawat udara melakukan pendekatan untuk mendarat dan gerakan setelah tinggal landas atau gerakan dalam hal mengalami kegagalan dalam pendaratan.

 

Pasal 207

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat I” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara (Weighted Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL) lebih besar atau sama dengan 70 (tujuh puluh) dan lebih kecil dari 75 (tujuh puluh lima).

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat II” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara lebih besar atau sama dengan 75 (tujuh puluh lima) dan lebih kecil dari 80 (delapan puluh).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat III” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara lebih besar atau sama dengan 80 (delapan puluh).

 

Pasal 210

Yang dimaksud dengan “halangan”, antara lain, bangunan gedung, tumpukan tanah, tumpukan bahan bangunan, atau benda-benda galian, baik yang bersifat sementara maupun bersifat tetap, termasuk pepohonan dan bangunan yang sebelumnya telah didirikan.

 

Yang dimaksud dengan “kegiatan lain”, antara lain, kegiatan bermain layang-layang, menggembala ternak, menggunakan frekuensi radio, melintasi landasan, dan kegiatan yang menimbulkan asap.

 

 

Pasal 211

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara” adalah pengaturan tata guna lahan di sekitar bandar udara.

 

Rencana induk nasional bandar udara dipergunakan sebagai pedoman apabila belum ada rencana induk bandar udara.

 

Pasal 212

 

Yang dimaksud dengan “aksesibilitas” adalah prasarana yang digunakan oleh pengguna jasa bandar udara dari dan ke bandar udara.

 

Yang dimaksud dengan “utilitas” adalah prasarana yang digunakan untuk menunjang operasi bandar udara, antara lain, listrik, air bersih, drainase, dan telekomunikasi.

 

Pasal 214

Yang dimaksud dengan “fungsi khusus” adalah fungsi bangunan yang dalam pembangunan dan penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat sekitarnya dan mempunyai risiko bahaya tinggi.

 

 

Pasal 215

Ayat (1)

Yang   dimaksud   dengan   “berkoordinasi   dengan   pemerintah daerah” adalah untuk mendapatkan rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota.

 

Ayat (2)

Huruf d

Rancangan teknik terinci bandar udara disesuaikan dengan rencana   peruntukan   bandar   udara   yang   bersangkutan, dalam kaitan dengan kemampuannya menampung pesawat udara yang akan mendarat dan lepas landas, serta penumpang dan barang dari bandar udara tersebut.

 

Rancangan teknik terinci sebagai dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan bandar udara mencakup gambar dan spesifikasi teknis bangunan, fasilitas dan prasarana termasuk struktur bangunan dan bahan, serta fasilitas elektronika, listrik, dan mekanikal sebagai penunjang keselamatan penerbangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 216

Persyaratan mengenai kelestarian lingkungan ditunjukkan dengan adanya studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Kerangka Acuan Andal (KA-ANDAL), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), atau Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL) yang merupakan dokumen untuk terpenuhinya persyaratan kelestarian lingkungan.

 

Pasal 222

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara”, antara lain:

1)   personel fasilitas teknik bandar udara;

2)   personel fasilitas elektronika bandar udara;

3)   personel fasilitas listrik bandar udara;

4)   personel fasilitas mekanikal bandar udara;

5) personel pengatur pergerakan pesawat udara (apron movement control/AMC);

6) personel pengelola dan pemantau lingkungan;

7) personel pertolongan kecelakaan penerbangan-pemadam kebakaran (PKP-PK);

8)   personel keamanan;

9)   personel fasilitas keamanan penerbangan; dan

10) personel salvage.

 

Pasal 226

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”pembinaan kegiatan penerbangan” adalah termasuk pembinaan di bidang keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan serta pembinaan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan di bandar udara.

 

 

 

Pasal 227

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat”, antara lain, dalam bentuk penyampaian laporan dan informasi mengenai perkembangan bandar udara kepada pemerintah daerah yang terkait dengan kepentingannya.

 

 

Pasal 233

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif”, antara lain, meliputi akte pendirian perusahaan, tanda jati diri pemilik, nomor pokok wajib pajak, dan domisili.

 

Yang dimaksud dengan “persyaratan keuangan” adalah kemampuan finansial perusahaan untuk pembangunan dan kelangsungan kegiatan pengoperasian bandar udara.

 

Yang dimaksud dengan “persyaratan manajemen” adalah kemampuan   personel   dan   organisasi   pengoperasian   bandar udara.

 

 

Pasal 235

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “bentuk lainnya” adalah kerja sama antara lain dalam bentuk build operate own, build operate transfer, dan contract management.

 

Pasal 239

Ayat (2)

Huruf b

Yang dimaksud dengan “fasilitas” adalah sarana yang memenuhi   persyaratan   standar   bagi   penyandang   cacat antara lain berupa lift, toilet khusus, dan ramp.

 

 

Pasal 240

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengguna jasa bandar udara” adalah setiap orang yang menikmati pelayanan jasa bandar udara dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara.

 

Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah masyarakat sekitar bandar udara.

 

Pasal 249

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, antara lain, untuk tujuan

medical evacuation dan penanganan bencana. Pasal 250

Yang dimaksud “keadaan tertentu” dapat berupa:

  1. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum; dan/atau
  2. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara umum dan belum ada moda transportasi yang memadai.

Yang dimaksud “bersifat sementara” adalah jangka waktu terbatas sampai diatasinya kondisi keadaan tertentu.

 

 

Pasal 254

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan”, antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual).

 

Pasal 256

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “beberapa” adalah bahwa penetapan bandar udara internasional dibatasi jumlahnya.

 

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “menteri terkait” adalah menteri yang membidangi urusan keimigrasian, kepabeanan, dan kekarantinaan dalam rangka penempatan unit kerja dan personel.

 

Pasal 257

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” untuk bandar udara digunakan sebagai pangkalan udara adalah hanya untuk pertahanan negara yang ditetapkan oleh Presiden.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” untuk pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara dapat berupa:

  1. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara; atau
  2. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara.

 

Pasal 262

Ayat (1) Huruf a

Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah udara semata-mata berdasarkan alasan teknis operasional dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara Indonesia serta bersifat sementara.

 

Huruf c

Ayat (2)

Pendelegasian ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil internasional adalah di ruang udara di atas wilayah yang bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas laut bebas.

Pasal 264

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bersifat tidak tetap” adalah pemberlakuan pembatasan dilaksanakan tidak terus-menerus.

 

Yang dimaksud dengan “tidak menyeluruh” adalah batas horizontal dan vertikal (ketinggian) dibatasi sehingga pesawat udara dapat melakukan penerbangan dengan tata cara bernavigasi yang ditetapkan pada kawasan udara tersebut.

 

Yang dimaksud dengan “kondisi alam”, antara lain, aktivitas gunung berapi, badai, turbulensi (turbulence), atau kebakaran hutan.

 

Pasal 265

 

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kaidah penerbangan” adalah jenis penerbangan yang didasarkan pada cara penerbangan, yaitu penerbangan instrumen atau kaidah penerbangan instrumen (instrument flight rules) dan penerbangan visual atau kaidah penerbangan visual (visual flight rules).

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pemberian separasi” adalah pemberian jarak vertikal dan horizontal.

 

Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “kelas A” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. hanya digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen;
  2. diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
  3. diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
  4. tidak ada pembatasan kecepatan;
  5. memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  6. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot (Air Traffic Control Clearance).

 

Yang dimaksud dengan “kelas B” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen dan visual;
  2. diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
  3. diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
  4. tidak ada pembatasan kecepatan;
  5. memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  6. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Yang dimaksud dengan “kelas C” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
  2. a) diberikan separasi kepada:

1) antarkaidah penerbangan instrumen; dan

2) antara kaidah penerbangan instrumen dengan kaidah penerbangan visual.

  1. b) pelayanan yang diberikan berupa:

1) layanan pemanduan lalu lintas penerbangan untuk pemberian separasi dengan kaidah penerbangan instrumen; dan

2) layanan informasi lalu lintas penerbangan antar kaidah penerbangan visual.

  1. c) tidak ada pembatasan kecepatan;
  2. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  3. e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

  1. untuk kaidah penerbangan visual:
  2. a) diberikan separasi antara penerbangan visual dan penerbangan instrumen;
  3. b) pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
  4. c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian dibawah

10.000 kaki di atas permukaan laut;

  1. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  2. e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Yang dimaksud dengan “kelas D” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 

  1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
  2. a) separasi diberikan antarkaidah penerbangan instrumen;
  3. b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan dan informasi tentang lalu lintas penerbangan visual;
  4. c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian di bawah

10.000 kaki di atas permukaan laut;

  1. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  2. e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

  1. untuk kaidah penerbangan visual:
  2. a) tidak diberikan separasi;
  3. b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan instrumen kepada penerbangan visual dan antarpenerbangan visual;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot dibawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) memerlukan komunikasi radio dua arah;
  6. e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Yang dimaksud dengan “kelas E” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 

  1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
  2. a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen;
  3. b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan sepanjang dapat dilaksanakan atau informasi lalu lintas penerbangan untuk penerbangan visual;

 

 

 

  1. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  2. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  3. e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

  1. untuk kaidah penerbangan visual:
  2. a) tidak diberikan separasi;
  3. b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan sepanjang dapat dilaksanakan;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) tidak diperlukan komunikasi radio;
  6. e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Yang dimaksud dengan “kelas F” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 

  1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
  2. a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen sepanjang dapat dilaksanakan;
  3. b) diberikan bantuan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan atau layanan informasi lalu lintas penerbangan;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  6. e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

  1. untuk kaidah penerbangan visual:
  2. a) tidak diberikan separasi;
  3. b) diberikan layanan informasi penerbangan;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
  6. e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Yang dimaksud dengan “kelas G” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 

  1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
  2. a) tidak diberikan separasi;
  3. b) diberikan layanan informasi penerbangan;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
  6. e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

  1. untuk kaidah penerbangan visual:
  2. a) tidak diberikan separasi;
  3. b) diberikan layanan informasi penerbangan;
  4. c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
  5. d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
  6. e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.

 

Pasal 267

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “jalur udara (airway)” adalah suatu ruang udara yang terkontrol dalam bentuk koridor yang dilengkapi dengan peralatan radio navigasi.

 

Ayat (2)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”titik acuan” adalah titik yang digunakan untuk menghubungkan segmen jalur penerbangan yang telah ditetapkan nama dan koordinatnya.

 

Titik acuan tersebut ditetapkan di atas fasilitas navigasi atau suatu titik maya yang ditetapkan posisinya.

 

Pasal 271

Ayat (3)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”tidak berorientasi kepada keuntungan” adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola pendapatannya dimanfaatkan untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.

 

Pasal 275

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara” terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control), pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended).

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi pendekatan” adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrival route) dan keberangkatan (standard instrument departure).

 

 

Pasal 276

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah” adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service).

Pasal 282

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pelayanan aeronautika tetap” adalah pelayanan telekomunikasi penerbangan antarstasiun tetap (tidak bergerak).

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pelayanan aeronautika bergerak” adalah telekomunikasi:

  1. antara stasiun penerbangan di darat dengan stasiun penerbangan di pesawat udara;
  2. antarstasiun pesawat udara;
  3. radio beacon yang menunjukkan posisi darurat (emergency) dan marabahaya (distress); serta
  4. penyiaran informasi penerbangan (aeronautical broadcasting service)

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pelayanan radio navigasi aeronautika” adalah penyampaian informasi melalui perambatan gelombang radio untuk menentukan posisi, arah, kecepatan, dan karakteristik suatu benda untuk kepentingan navigasi.

 

Pasal 284

Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah waktu penyampaian informasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Pasal 287

Yang dimaksud dengan “informasi cuaca”, antara lain, meliputi:

  1. angin atas (upper winds) dan suhu udara atas (upper air temperature);
  2. fenomena cuaca yang signifikan pada jalur jelajah (forecast of significant en-route weather phenomena);
  3. laporan meteorologi bandar udara (aerodrome meteorological report);
  4. prakiraan cuaca bandar udara (aerodrome forecast);
  5. prakiraan cuaca untuk lepas landas (forecast for take-off);
  6. prakiraan cuaca untuk pendaratan (landing forecast);
  7. informasi cuaca yang signifikan (significant information meteorology);
  8. informasi cuaca pada lapisan rendah (airmet); dan
  9. ringkasan iklim bandar udara (aerodrome climatological summary).

 

Pasal 288

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan informasi meteorologi” adalah badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

 

Pasal 290

Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur oleh Menteri berkoordinasi dengan institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

 

Pasal 291

Ayat (1) & (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur oleh Menteri berkoordinasi dengan badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.

 

Pasal 292

Ayat (1) Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan” meliputi:

  1. personel pelayanan lalu lintas penerbangan, yang terdiri atas:

1) pemandu lalu lintas penerbangan; dan

2) pemandu komunikasi penerbangan.

 

  1. personel teknik telekomunikasi penerbangan, yang terdiri atas:

1) teknisi komunikasi penerbangan;

2) teknisi radio navigasi penerbangan;

3) teknisi pengamatan penerbangan; dan

4) teknisi kalibrasi penerbangan.

 

  1. personel pelayanan informasi aeronautika; dan

 

  1. personel perancang prosedur penerbangan adalah personel yang bertugas antara lain:

 

1) merancang suatu prosedur pergerakan pesawat udara untuk:

  1. a) keberangkatan (standard instrument departure).

Prosedur pergerakan pesawat udara keberangkatan adalah jalur penerbangan tertentu dari suatu bandara, ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.

  1. b) kedatangan (standard instrument arrival route).

Prosedur pergerakan pesawat udara kedatangan adalah jalur penerbangan tertentu menuju suatu bandara, ditandai oleh fasilitas-fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.

  1. c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure).

Prosedur pergerakan pesawat udara ancangan pendaratan adalah rangkaian manuver yang ditetapkan bagi penerbang dalam melaksanakan prosedur ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada instrumen-instrumen   yang   terdapat   dalam   cockpit serta fasilitas komunikasi dan navigasi.

  1. d) terbang jelajah (en-route).

Prosedur pergerakan pesawat udara terbang jelajah adalah prosedur pergerakan pesawat udara yang dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal fase kedatangan melalui suatu jalur penerbangan dengan batas ketinggian minimum yang ditentukan (minimum en-route altitude).

2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan yang berada dalam area operasi penerbangan.

 

Ayat (3) & (4) Cukup jelas.

Pasal 293 sd Pasal 302 Cukup jelas.

 

Pasal 303

Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “penggunaan frekuensi radio di luar alokasi frekuensi radio penerbangan”, antara lain, untuk kepentingan   pengamanan penerbangan, pertolongan kecelakaan penerbangan dan pemadam kebakaran (rescue and fire fighting), penanganan darat pesawat udara (ground handling) dan radio link penunjang pelayanan navigasi penerbangan.

 

Ayat (2) & Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 304 Cukup jelas.

 

Pasal 305

Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “yang tidak digunakan untuk keselamatan penerbangan”, antara lain, digunakan untuk kepentingan operasional perusahaan angkutan udara.

 

Pasal 306 & 307 Cukup jelas.

 

Pasal 308

Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “program keselamatan penerbangan nasional” adalah seperangkat peraturan keselamatan penerbangan dan kegiatan yang terintegrasi untuk mencapai tingkat keselamatan yang diinginkan.

 

Pasal 309

Huruf c

Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan keselamatan penerbangan” adalah tata cara dan prosedur pengumpulan data dan laporan yang bersifat laporan wajib, sukarela, dan/atau bersifat terbatas (confidential mandatory/voluntary reporting systems).

 

Huruf f

Yang dimaksud dengan “promosi keselamatan penerbangan (safety promotion)” adalah upaya memasyarakatkan keselamatan penerbangan secara berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan serta sosialisasi keselamatan.

 

Pasal 310

Ayat (1) Huruf a

Yang dimaksud dengan “target kinerja keselamatan penerbangan” adalah kinerja keselamatan penerbangan yang ingin dicapai pada periode tertentu berdasarkan perhitungan kuantitatif rasio data kecelakaan periode terkini.

 

Kinerja keselamatan penerbangan yang akan dicapai dan ditetapkan Pemerintah nilainya harus lebih kecil daripada rasio data kecelakaan periode terkini.

 

Rasio data kecelakaan adalah data kuantitatif jumlah kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa dibandingkan dengan jumlah pendaratan, jumlah keberangkatan, dan/atau jumlah jam terbang pesawat udara kategori transpor komersial.

 

Penetapan target kinerja keselamatan penerbangan disusun berdasarkan pertimbangan dan masukan para pemangku kepentingan (stake holders).

 

Huruf b

 

Yang dimaksud dengan “indikator kinerja keselamatan penerbangan” adalah ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja keselamatan penerbangan.

 

Huruf c

 

Yang dimaksud dengan “pengukuran pencapaian keselamatan penerbangan” adalah kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan untuk mengetahui tercapainya target kinerja keselamatan.

 

Pasal 312

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “audit” adalah pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa penerbangan untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “inspeksi” adalah pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pengamatan” adalah kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pemantauan” adalah kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja keselamatan penerbangan.

 

Pasal 314

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyedia jasa penerbangan”, antara lain:

  1. badan usaha angkutan udara;
  2. badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara;
  3. penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan;
  4. badan usaha pemeliharaan pesawat udara;
  5. penyelenggara pendidikan dan pelatihan penerbangan; dan
  6. badan usaha rancang bangun dan pabrik pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponen pesawat udara.

 

Pasal 315

Huruf b

Yang dimaksud dengan “manajemen risiko keselamatan” adalah rangkaian kegiatan berkelanjutan dimulai dari identifikasi bahaya, analisis risiko, penilaian tingkat risiko, dan langkah- langkah penurunan risiko untuk mencapai tingkat risiko yang dapat diterima.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “jaminan keselamatan” adalah upaya untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan keselamatan melalui kegiatan pengawasan dan pengukuran     kinerja keselamatan, serta perbaikan sistem keselamatan secara berkelanjutan.

 

Pasal 318

Yang dimaksud dengan “budaya keselamatan penerbangan” adalah keyakinan, pola pikir, pola sikap, dan perasaan tertentu yang mendasari dan mengarahkan tingkah laku seseorang atau organisasi untuk menciptakan keselamatan penerbangan.

 

Budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud di atas perlu dibangun dalam bentuk budaya lapor (reporting culture), budaya saling mengingatkan (informed culture), budaya belajar (learning culture), dan just culture.

 

Just culture sebagaimana dimaksud di atas adalah suatu kondisi kepercayaan pada saat masyarakat didorong bahkan diberi hadiah untuk menyampaikan informasi yang berhubungan dengan keselamatan dan dipahami secara jelas batasan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.

 

Pasal 331

Ayat (2)

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pengujian (test)” adalah uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya keamanan penerbangan atau tindakan keamanan penerbangan dengan simulasi percobaan untuk tindakan melawan hukum.

 

Pasal 334

 

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel yang berkompeten di bidang keamanan penerbangan” adalah personel yang telah memiliki lisensi.

 

 

Pasal 335

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penumpang tertentu”, antara lain, orang sakit diberikan kemudahan perlakuan pemeriksaan keamanan.

 

Yang dimaksud dengan “kargo tertentu”, antara lain, barang- barang yang mudah rusak bila dilakukan pemeriksaan dengan X- Ray sepanjang dilengkapi dokumen yang sah.

 

Pasal 338

Yang dimaksud dengan “gangguan atau ancaman keamanan”, antara lain, pembajakan atau ancaman bom.

 

Pasal 340

Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf c

Pemberitahuan muatan barang berbahaya mencakup, antara lain, nama dan jenis, nomor identitas, klasifikasi, jumlah kemasan, jenis kemasan, berat per kemasan, volume perkemasan, kode darurat (emergency), dan penempatannya.

 

Pasal 342

Yang dimaksud dengan “persyaratan keamanan penerbangan” adalah dipenuhinya persyaratan di pesawat udara, antara lain:

  1. berupa tempat untuk meredam bahan peledak;
  2. menentukan daerah bagian pesawat udara yang bisa menerima ledakan dengan tidak membahayakan kegiatan penerbangan; dan
  3. pintu ruang kemudi pesawat udara (cockpit door) yang terbuat dari material yang tahan peluru dan dengan sistem pembuka rahasia dari kabin pesawat udara.

 

Kategori transpor yang dipersyaratan dalam ketentuan ini adalah pesawat udara yang beratnya saat lepas landas (MTOW) 45.500 kg keatas atau yang berkapasitas tempat duduk lebih dari 60 tempat duduk.

 

Pasal 344

Huruf c

Yang dimaksud dengan “fasilitas aeronautika”, antara lain, radar dan menara pengatur lalu lintas penerbangan.

 

Pasal 345

Ayat (2)

Program penanggulangan keadaan darurat (contingency plan) merupakan bagian dari program pengamanan bandar udara.

 

 

Pasal 348

Fasilitas keamanan penerbangan, antara lain, berupa peralatan:

  1. pendeteksi bahan peledak;
  2. pendeteksi bahan organik dan non-organik;
  3. pendeteksi metal;
  4. pendeteksi bahan nuklir, biologi, kimia, dan radioaktif;
  5. pemantau lalu lintas orang, kargo, pos, kendaraan, dan pesawat udara di darat;
  6. penunda upaya kejahatan dan pembatas daerah keamanan terbatas; serta
  7. komunikasi keamanan penerbangan.

 

Pasal 357

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kecelakaan” adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan:

  1. kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan;

dan/atau

  1. korban jiwa atau luka serius.

 

Yang dimaksud dengan “kejadian serius” adalah suatu kondisi pengoperasian pesawat udara hampir terjadinya kecelakaan.

 

Pasal 358

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pesawat tertentu” adalah pesawat udara yang dikategorikan berdasarkan berat.

Yang dimaksud dengan “pihak terkait”, antara lain, organisasi penerbangan sipil internasional.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “tanggapan” adalah pendapat dari pihak terkait terhadap rancangan laporan akhir investigasi. Tanggapan yang dapat diterima dijadikan bagian dari laporan akhir, sedangkan tanggapan yang tidak dapat diterima dijadikan lampiran dari laporan akhir.

 

Pasal 359

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “informasi rahasia (non disclosure of records)”, antara lain:

  1. pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;
  2. rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara;
  3. informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;
  4. rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut;
  5. rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services); dan
  6. pendapat   yang   disampaikan   dalam   analisis   informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorder).

 

Pasal 363

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat udara”, antara lain, aparat keamanan setempat.

 

Pasal 364

Yang dimaksud dengan “penyelidikan lanjutan” adalah suatu proses untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang dilakukan berdasarkan hasil pelatihan dan pengalamannya (actions, omissions or decisions taken by them that are commensurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging whether is acceptable or unacceptable).

 

Pasal 381

Ayat (4)

Huruf c

Yang dimaksud dengan “perluasan kesempatan kerja” adalah kegiatan yang dilaksanakan guna perluasan kesempatan kerja di bidang penerbangan untuk pemenuhan kebutuhan pasar tenaga kerja di tingkat nasional dan internasional.

 

Pasal 388

Yang dimaksud dengan “penyelenggara pendidikan dan pelatihan” adalah lembaga yang mendapatkan akreditasi dari lembaga sertifikasi profesi atau disahkan oleh Menteri.

 

Pasal 389 sd Pasal 466 Cukup jelas.

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4956