UNDANG-UNDANG PENERBANGAN RI – D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAGIAN4

BAB XI KEBANDARUDARAAN

Bagian Kesatu Umum

Bagian Kedua Tatanan Kebandarudaraan Nasional

Bagian Ketiga Penetapan Lokasi Bandar Udara

Bagian Keempat Pembangunan Bandar Udara

Bagian Kelima Pengoperasian Bandar Udara

Paragraf 1 Sertifikasi Operasi Bandar Udara

Paragraf 2 Fasilitas Bandar Udara

Paragraf 3 Personel Bandar Udara

Bagian KeenamPenyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara

Paragraf 1 Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara

Paragraf 2 Otoritas Bandar Udara

Paragraf 3 Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara

Bagian Ketujuh Pelayanan dan Fasilitas Khusus

Bagian Kedelapan Tanggung Jawab Ganti Kerugian

Bagian Kesembilan Tarif Jasa Kebandarudaraan

Bagian Kesepuluh Bandar Udara Khusus

Bagian Kesebelas Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter

Bagian Kedua Belas Bandar Udara Internasional

Bagian Ketiga Belas Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara

Bagian Keempat Belas Pelestarian Lingkungan

BAB XII NAVIGASI PENERBANGAN

Bagian Kesatu Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional

Paragraf 1 Ruang Udara Yang Dilayani

Paragraf 2 Klasifikasi Ruang Udara

Paragraf 3 Jalur Penerbangan

Bagian Kedua Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan

Paragraf 1 Tujuan dan Jenis Pelayanan Navigasi Penerbangan

Paragraf 2 Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan

Paragraf 3 Sertifikasi Pelayanan Navigasi Penerbangan

Paragraf 4 Biaya Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan

Paragraf 5 Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan

Paragraf 6 Pelayanan Telekomunikasi Penerbangan

Paragraf 7 Pelayanan Informasi Aeronautika

Paragraf 8 Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan

Paragraf 9 Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan

Bagian Ketiga Personel Navigasi Penerbangan

Bagian Keempat Fasilitas Navigasi Penerbangan

Bagian Kelima Frekuensi Radio Penerbangan

Paragraf 1 Penggunaan Frekuensi

Paragraf 2 biaya

 

 

 

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

 

 

 

BAB XI KEBANDARUDARAAN

 

Bagian Kesatu Umum

 

Pasal 192

 

Bandar udara terdiri atas:

  1. bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan
  2. bandar udara khusus.

 

Bagian Kedua Tatanan Kebandarudaraan Nasional

 

Pasal 193

 

(1) Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien,   serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara.

 

(2) Tatanan     kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan     nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

 

(3) Tatanan   kebandarudaraan   nasional   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

  1. peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara; serta
  2. rencana induk nasional bandar udara.

 

Pasal 194

 

Bandar udara memiliki peran sebagai:

  1. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
  2. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
  3. tempat kegiatan alih moda transportasi;
  4. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
  5. pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana; serta
  6. prasarana   memperkukuh Wawasan   Nusantara   dan kedaulatan negara.

 

Pasal 195

 

Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:

  1. pemerintahan; dan/atau b. pengusahaan.

 

Pasal 196

 

Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik.

 

Pasal 197

 

(1) Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara pengumpul (hub) dan bandar udara pengumpan (spoke).

 

(2)   Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier.

 

(3)   Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bandar udara tujuan atau penunjang dari bandar udara pengumpul dan merupakan salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.

 

Pasal 198

 

Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.

 

Pasal 199

 

 

(1) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara.

 

(2) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

  1. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
  2. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
  3. potensi sumber daya alam;
  4. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional;
  5. sistem transportasi nasional;
  6. keterpaduan intermoda dan multimoda; serta g. peran bandar udara.

 

 

(3) Rencana induk nasional bandar udara memuat:

  1. kebijakan nasional bandar udara; dan
  2. rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara.

 

Pasal 200

 

(1) Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

 

(2) Tatanan   kebandarudaraan   nasional   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

 

(3)   Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis, tatanan kebandarudaraan nasional dapat ditinjau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga Penetapan Lokasi Bandar Udara

 

Pasal 201

 

(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.

 

(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

  1. titik koordinat bandar udara; dan b. rencana induk bandar udara.

 

(3) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

  1. rencana induk nasional bandar udara;
  2. keselamatan dan keamanan penerbangan;
  3. keserasian   dan   keseimbangan   dengan   budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar udara;
  4. kelayakan ekonomis, finansial, sosial, pengembangan wilayah, teknis pembangunan, dan pengoperasian; serta
  5. kelayakan lingkungan.

 

Pasal 202

 

Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

  1. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;
  2. kebutuhan fasilitas;
  3. tata letak fasilitas;
  4. tahapan pelaksanaan pembangunan;
  5. kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
  6. daerah lingkungan kerja;
  7. daerah lingkungan kepentingan;
  8. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan i. batas kawasan kebisingan.

 

Pasal 203

 

(1) Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara.

 

(2) Pada daerah lingkungan kerja bandar udara yang telah ditetapkan, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 204

 

(1) Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri.

 

(2)   Tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daerah lingkungan kerja bandar udara dan harus memperhatikan aspek keamanan penerbangan.

 

Pasal 205

 

(1) Daerah   lingkungan   kepentingan   bandar   udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.

 

(2)   Pemanfaatan   daerah   lingkungan   kepentingan   bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.

 

Pasal 206

 

Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:

  1. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
  2. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
  3. kawasan di bawah permukaan transisi;
  4. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
  5. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan
  6. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.

 

Pasal 207

 

Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:

  1. kebisingan tingkat I;
  2. kebisingan tingkat II; dan c. kebisingan tingkat III.

 

Pasal 208

 

(1) Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan.

 

 

 

(2)   Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah, atau   melestarikan   bangunan   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk operasi penerbangan;
  2. memenuhi kajian khusus aeronautika; dan
  3. sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi penerbangan.

 

(3)   Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information service).

 

Pasal 209

 

Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.

 

Pasal 210

 

Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.

 

Pasal 211

 

(1) Untuk   menjamin   keselamatan   dan   keamanan penerbangan serta pengembangan bandar udara, pemerintah daerah wajib mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara.

 

(2) Untuk mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menetapkan rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara dengan memperhatikan rencana induk bandar udara dan rencana induk nasional bandar udara.

 

 

Pasal 212

 

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.

 

Pasal 213

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Keempat Pembangunan Bandar Udara

 

Pasal 214

 

Bandar   udara   sebagai bangunan   gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

 

Pasal 215

 

(1)   Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

 

(2) Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi persyaratan:

  1. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
  2. rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara;
  3. bukti penetapan lokasi bandar udara;
  4. rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara;

dan

  1. kelestarian lingkungan.

 

Pasal 216

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kelima Pengoperasian Bandar Udara

 

Paragraf 1 Sertifikasi Operasi Bandar Udara

 

Pasal 217

 

(1) Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan   keselamatan   dan   keamanan   penerbangan, serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.

 

(2) Bandar udara yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan, Menteri memberikan:

  1. sertifikat bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari

30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat

maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu

tujuh ratus) kilogram; atau

  1. register bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum

30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.

 

(3)   Sertifikat bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

  1. personel;
  2. fasilitas;
  3. prosedur operasi bandar udara; dan
  4. sistem manajemen keselamatan operasi bandar udara.

 

(4)   Register bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

  1. personel;
  2. fasilitas; dan
  3. prosedur operasi bandar udara.

 

(5) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. penurunan tarif jasa bandar udara; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

 

Pasal 218

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 2 Fasilitas Bandar Udara

 

Pasal 219

 

(1) Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

 

(2)   Setiap fasilitas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikan oleh Menteri.

 

(3)   Untuk mempertahankan kesiapan fasilitas bandar udara, badan usaha bandar udara, atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi, dan/atau kalibrasi.

 

(4) Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.

 

(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

 

 

Pasal 220

 

(1)   Pengoperasian   bandar   udara   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) wajib dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial di bidang teknis dan/atau operasi bandar udara.

 

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

 

Pasal 221

 

Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pengoperasian   fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 3 Personel Bandar Udara

 

Pasal 222

 

(1)   Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

 

(2) Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

 

(3)  Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

  1. administratif;
  2. sehat jasmani dan rohani;
  3. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan d. lulus ujian.

 

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.

 

 

 

Pasal 223

 

(1)   Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:

  1. melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;
  2. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
  3. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

 

(2) Personel bandar udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan lisensi; dan/atau c. pencabutan lisensi.

 

Pasal 224

 

Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.

 

Pasal 225

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian KeenamPenyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara

 

Paragraf 1 Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara

 

Pasal 226

 

(1)   Kegiatan pemerintahan di bandar udara meliputi:

  1. pembinaan kegiatan penerbangan;
  2. kepabeanan;
  3. keimigrasian; dan d. kekarantinaan.

 

 

 

(2) Pembinaan kegiatan penerbangan di bandar udara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh otoritas bandar udara.

 

(3) Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 2 Otoritas Bandar Udara

 

Pasal 227

 

(1) Otoritas bandar udara ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.

 

(2)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk untuk satu atau beberapa bandar udara terdekat.

 

(3)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

 

Pasal 228

 

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab:

  1. menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
  2. memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
  3. menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara;
  4. menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya;
  5. melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggungjawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara; dan
  6. melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri.

 

Pasal 229

 

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

227 ayat (1) mempunyai wewenang:

  1. mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara;
  2. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran, serta kenyamanan penerbangan di bandar udara;
  3. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan ketentuan pelestarian lingkungan;
  4. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara;
  5. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasional penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udara serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara;
  6. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara; dan
  7. memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 230

 

Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 231

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 3 Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara

 

Pasal 232

 

(1) Kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas:

  1. pelayanan jasa kebandarudaraan; dan b. pelayanan jasa terkait bandar udara.

 

(2)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan:

  1. fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat udara;
  2. fasilitas   terminal   untuk   pelayanan   angkutan penumpang, kargo, dan pos;
  3. fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan
  4. lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara.

 

(3) Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:

  1. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara, terdiri atas:

1) penyediaan hanggar pesawat udara;

2) perbengkelan pesawat udara;

3) pergudangan;

4) katering pesawat udara;

5) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling);

6) pelayanan penumpang dan bagasi; serta

7) penanganan kargo dan pos.

 

  1. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang, terdiri atas:

1) penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;

2) penyediaan toko dan restoran;

3) penyimpanan kendaraan bermotor;

4) pelayanan kesehatan;

5) perbankan dan/atau penukaran uang; dan

6) transportasi darat.

 

  1. jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara, terdiri atas:

1) penyediaan tempat bermain dan rekreasi;

2) penyediaan fasilitas perkantoran;

3) penyediaan fasilitas olah raga;

4) penyediaan fasiltas pendidikan dan pelatihan;

5) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor; dan

6) periklanan.

 

Pasal 233

 

(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:

  1. badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri; atau
  2. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

 

(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi, keuangan, dan manajemen.

 

(3)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dipindahtangankan.

 

(4)   Pelayanan jasa terkait dengan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

 

(5)   Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.

 

Pasal 234

 

(1) Dalam melaksanakan pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2), badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib:

  1. memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;
  2. menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara;
  3. menyediakan personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara;
  4. mempertahankan   dan   meningkatkan   kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara;
  5. menyediakan dan memperbarui setiap prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara;
  6. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri;
  7. menyediakan fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;
  8. menjaga dan meningkatkan keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
  9. menjaga dan meningkatkan keamanan dan ketertiban bandar udara;
  10. memelihara kelestarian lingkungan;
  11. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
  12. melakukan   pengawasan   dan   pengendalian   secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, serta kompetensi personel bandar udara; dan
  13. memberikan laporan secara berkala kepada Menteri dan otoritas bandar udara.

 

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.

 

 

Pasal 235

 

(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri dan dituangkan dalam perjanjian.

 

(2) Hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 236

 

Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 (satu)

atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial.

 

Pasal 237

 

(1) Pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

 

(2)   Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing.

 

Pasal 238

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketujuh Pelayanan dan Fasilitas Khusus

 

Pasal 239

 

(1)   Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak- anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.

 

(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. pemberian prioritas pelayanan di terminal;
  2. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal;
  3. sarana bantu bagi orang sakit;
  4. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi

(nursery);

  1. tersedianya personel   yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta
  2. tersedianya     informasi     atau     petunjuk     tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

 

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kedelapan Tanggung Jawab Ganti Kerugian

 

Pasal 240

 

(1)   Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.

 

(2) Tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. kematian atau luka fisik orang;
  2. musnah,   hilang,   atau   rusak   peralatan   yang dioperasikan; dan/atau
  3. dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara.

 

(3) Risiko atas tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.

 

 

(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

 

Pasal 241

 

Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya.

 

Pasal 242

 

Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai   tanggung   jawab   atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Kesembilan Tarif Jasa Kebandarudaraan

 

Pasal 243

 

Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan.

 

Pasal 244

 

(1) Struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ditetapkan oleh Menteri.

 

(2) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara.

 

(3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan:

  1. Peraturan Pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara; atau

 

 

  1. Peraturan   daerah   untuk   bandar   udara   yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah.

 

Pasal 245

 

Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

 

Pasal 246

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kesepuluh Bandar Udara Khusus

 

Pasal 247

 

(1)   Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri.

 

(2) Izin pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

  1. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
  2. rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat;
  3. rancangan teknik terinci fasilitas pokok; dan d. kelestarian lingkungan.

 

(3)   Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara.

 

Pasal 248

 

Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri.

 

 

Pasal 249

 

Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri.

 

Pasal 250

 

Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, dan bersifat sementara.

 

Pasal 251

 

Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara.

 

Pasal 252

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Kesebelas Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter

 

Pasal 253

 

(1)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)

terdiri atas:

  1. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport);
  2. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan
  3. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).

 

(2) Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.

 

 

(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

meliputi aspek:

  1. penggunaan ruang udara;
  2. rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter; serta
  3. standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

Pasal 254

 

(1)   Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.

 

(2)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan register oleh Menteri.

 

Pasal 255

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Kedua Belas Bandar Udara Internasional

 

Pasal 256

 

(1)   Menteri menetapkan beberapa bandar udara sebagai bandar udara internasional.

 

(2) Penetapan bandar udara internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

  1. rencana induk nasional bandar udara;
  2. pertahanan dan keamanan negara;
  3. pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;
  4. kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional; serta
  5. pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri.

 

 

(3) Penetapan bandar udara internasional oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan menteri terkait.

 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Ketiga Belas Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara

 

Pasal 257

 

(1) Dalam keadaan tertentu bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara.

 

(2) Dalam keadaan tertentu pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara.

 

(3)   Penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

  1. kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara;
  2. keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan;
  3. keamanan dan pertahanan negara; serta d. peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 258

 

(1)   Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) berlaku ketentuan penerbangan sipil.

 

(2) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait.

 

Pasal 259

 

Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

 

 

Bagian Keempat Belas Pelestarian Lingkungan

 

Pasal 260

 

(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan ambang batas dan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah.

 

(2) Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara dapat membatasi waktu dan frekuensi, atau menolak pengoperasian pesawat udara.

 

(3) Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XII NAVIGASI PENERBANGAN

 

Bagian Kesatu Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional

 

Pasal 261

 

(1) Guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal   dalam rangka keselamatan penerbangan harus ditetapkan tatanan navigasi penerbangan nasional.

 

(2) Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan menteri yang membidangi urusan di bidang pertahanan dan Panglima Tentara Nasional Indonesia.

 

(3) Penyusunan tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

  1. keselamatan operasi penerbangan;
  2. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;
  3. kepadatan lalu lintas penerbangan;
  4. standar tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang berlaku; dan
  5. perkembangan   teknologi   di   bidang   navigasi penerbangan.

 

(4) Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:

  1. ruang udara yang dilayani;
  2. klasifikasi ruang udara;
  3. jalur penerbangan; dan
  4. jenis pelayanan navigasi penerbangan.

 

 

 

Paragraf 1 Ruang Udara Yang Dilayani

 

Pasal 262

 

 

(1) Ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 261 ayat (4) huruf a meliputi:

  1. wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
  2. ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Republik Indonesia; dan
  3. ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia.

 

(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 263

 

Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

  1. struktur jalur penerbangan;
  2. arus lalu lintas penerbangan; dan
  3. efisiensi pergerakan pesawat udara.

 

Pasal 264

 

(1)   Kawasan udara berbahaya ditetapkan oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang dilayaninya.

 

(2) Pada kawasan udara berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembatasan kegiatan penerbangan yang bersifat tidak tetap dan tidak menyeluruh sesuai dengan kondisi alam.

 

 

 

Paragraf 2 Klasifikasi Ruang Udara

 

Pasal 265

 

(1)   Klasifikasi ruang udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf b disusun dengan mempertimbangkan:

  1. kaidah penerbangan;
  2. pemberian separasi;
  3. pelayanan yang disediakan:
  4. pembatasan kecepatan:
  5. komunikasi radio; dan/atau
  6. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan

(Air Traffic Control Clearance).

 

(2)   Klasifikasi Ruang Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kelas A, kelas B, kelas C, kelas D, kelas E, kelas F, dan kelas G.

 

 

Paragraf 3 Jalur Penerbangan

 

Pasal 266

 

(1) Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

261 ayat (4) huruf c bertujuan untuk mengatur arus lalu lintas penerbangan.

 

(2) Penetapan jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit:

  1. pembatasan penggunaan ruang udara;
  2. klasifikasi ruang udara;
  3. fasilitas navigasi penerbangan;
  4. efisiensi dan keselamatan pergerakan pesawat udara;

dan

  1. kebutuhan pengguna pelayanan navigasi penerbangan.

 

Pasal 267

 

(1)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

261 ayat (4) huruf c meliputi:

  1. jalur udara (airway);
  2. jalur udara dengan pelayanan saran panduan

(advisory route);

  1. jalur udara   dengan   pemanduan   (control route) dan/atau jalur udara tanpa pemanduan (uncontrolled route); dan
  2. jalur udara keberangkatan (departure route) dan jalur udara kedatangan (arrival route).

 

(2)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memuat paling sedikit:

  1. nama jalur penerbangan;
  2. nama titik acuan dan koordinat;
  3. arah (track) yang menuju atau dari suatu titik acuan;
  4. jarak antartitik acuan; dan
  5. batas ketinggian aman terendah.

 

Pasal 268

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Kedua Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan

 

Paragraf 1 Tujuan dan Jenis Pelayanan Navigasi Penerbangan

 

Pasal 269

 

Navigasi penerbangan mempunyai tujuan sebagai berikut:

  1. terwujudnya penyediaan jasa pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan standar yang berlaku;
  2. terwujudnya efisiensi penerbangan; dan
  3. terwujudnya suatu jaringan pelayanan navigasi penerbangan secara terpadu, serasi, dan harmonis dalam lingkup nasional, regional, dan internasional.

 

Pasal 270

 

Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf d meliputi:

  1. pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services);
  2. pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical telecommunication services);
  3. pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information services);
  4. pelayanan informasi meteorologi penerbangan

(aeronautical meteorological services); dan

  1. pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search and rescue).

 

 

 

Paragraf 2 Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan

 

Pasal 271

 

(1) Pemerintah   bertanggung   jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani.

 

(2) Untuk     menyelenggarakan     pelayanan     navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan.

 

 

(3) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. mengutamakan keselamatan penerbangan;
  2. tidak berorientasi kepada keuntungan;
  3. secara finansial dapat mandiri; dan
  4. biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

 

(4) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.

 

Pasal 272

 

(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara.

 

(2)   Kewajiban pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan.

 

(3)   Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga penyelenggara   pelayanan navigasi penerbangan:

  1. memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedure);
  2. mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar;
  3. mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi; dan
  4. memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.

 

Pasal 273

 

Lembaga   penyelenggara   pelayanan   navigasi   penerbangan harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang, helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan.

 

Pasal 274

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan jalur penerbangan oleh lembaga penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 diatur oleh Menteri.

 

 

 

Paragraf 3 Sertifikasi Pelayanan Navigasi Penerbangan

 

Pasal 275

 

(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Menteri.

 

(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada masing-masing unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan.

 

(3) Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

  1. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;
  2. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
  3. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.

 

 

 

Paragraf 4 Biaya Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan

 

Pasal 276

 

(1) Pesawat udara yang terbang melalui ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf a dikenakan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan.

 

(2)   Biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud     pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan.

 

 

 

Pasal 277

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 5 Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan

 

Pasal 278

 

Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf a mempunyai tujuan:

  1. mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di udara;
  2. mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area);
  3. memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan;
  4. memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan
  5. memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).

 

Pasal 279

 

(1) Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 terdiri atas:

  1. pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (air traffic control service);
  2. pelayanan informasi penerbangan (flight information service);
  3. pelayanan saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service); dan
  4. pelayanan kesiagaan (alerting service).

 

(2) Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

  1. jenis lalu lintas penerbangan;
  2. kepadatan arus lalu lintas penerbangan;
  3. kondisi sistem teknologi dan topografi; serta

 

  1. fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di pesawat udara.

 

Pasal 280

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 6 Pelayanan Telekomunikasi Penerbangan

 

Pasal 281

 

Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf b bertujuan menyediakan informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan efisiensi penerbangan.

 

Pasal 282

 

Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 terdiri atas:

  1. pelayanan aeronautika tetap (aeronautical fixed services);
  2. pelayanan aeronautika bergerak (aeronautical mobile services); dan
  3. pelayanan radio navigasi aeronautika (aeronautical radio navigation services).

 

Pasal 283

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri

 

 

 

Paragraf 7 Pelayanan Informasi Aeronautika

 

Pasal 284

 

Pelayanan   informasi   aeronautika   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 270 huruf c bertujuan tersedianya informasi yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan.

 

 

Pasal 285

 

(1) Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 memuat informasi tentang fasilitas, prosedur, pelayanan di bandar udara dan ruang udara.

 

(2)   Informasi aeronautika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas paket informasi aeronautika terpadu dan peta navigasi penerbangan.

 

(3) Paket Informasi aeronautika terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

  1. publikasi informasi aeronautika (aeronautical information publication);
  2. notifikasi kepada penerbang dan petugas lalu lintas penerbangan (notice to airmen);
  3. edaran informasi aeronautika (aeronautical information circulars); dan
  4. buletin yang berisi informasi yang diperlukan sebelum penerbangan.

 

Pasal 286

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 8 Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan

 

Pasal 287

 

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf d bertujuan menyediakan informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan.

 

Pasal 288

 

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan oleh unit pelayanan informasi meteorologi kepada operator pesawat udara, personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan, unit pelayanan pencarian dan pertolongan, serta penyelenggara bandar udara.

 

 

Pasal 289

 

Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dilaksanakan secara berkoordinasi antara unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan bersama.

 

Pasal 290

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 9 Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan

 

Pasal 291

 

(1) Pelayanan informasi pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf e bertujuan memberikan informasi yang cepat dan akurat untuk membantu usaha pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara.

 

(2) Dalam memberikan pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus menyediakan interkoneksi dan   berkoordinasi   dengan   badan   yang   tugas   dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.

 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Bagian Ketiga Personel Navigasi Penerbangan

 

Pasal 292

 

(1)   Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

 

 

(2) Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

 

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

  1. administratif;
  2. sehat jasmani dan rohani;
  3. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan d. lulus ujian.

 

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.

 

Pasal 293

 

(1)   Personel navigasi penerbangan yang telah memiliki lisensi wajib:

  1. melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;
  2. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
  3. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

 

(2)   Personel navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan lisensi; dan/atau c. pencabutan lisensi.

 

Pasal 294

 

Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.

 

Pasal 295

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Keempat Fasilitas Navigasi Penerbangan

 

Pasal 296

 

(1) Fasilitas navigasi penerbangan terdiri atas:

  1. fasilitas telekomunikasi penerbangan;
  2. fasilitas informasi aeronautika; dan
  3. fasilitas informasi meteorologi penerbangan.

 

(2)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan dipasang dan dioperasikan harus mendapat persetujuan Menteri.

 

Pasal 297

 

Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) harus memperhatikan:

  1. kebutuhan operasional; b. perkembangan teknologi; c. keandalan fasilitas; dan d. keterpaduan sistem.

 

Pasal 298

 

(1) Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) wajib dipelihara oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

(2) Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.

 

Pasal 299

 

(1) Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) huruf a yang dioperasikan untuk pelayanan navigasi penerbangan wajib dikalibrasi secara berkala agar tetap laik operasi.

 

(2) Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan izin.

 

Pasal 300

 

Penyelenggaraan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan hukum yang mendapat sertifikat dari Menteri.

 

Pasal 301

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Kelima Frekuensi Radio Penerbangan

 

Paragraf 1 Penggunaan Frekuensi

 

Pasal 302

 

(1) Menteri   mengatur   penggunaan   frekuensi   radio penerbangan yang telah dialokasikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.

 

(2)   Frekuensi radio penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk kepentingan keselamatan penerbangan aeronautika dan non- aeronautika.

 

Pasal 303

 

(1) Menteri memberikan rekomendasi penggunaan frekuensi radio untuk menunjang operasi penerbangan di luar frekuensi yang telah dialokasikan.

 

(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk pemberian izin yang diberikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.

 

 

(3)  Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

 

Pasal 304

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 2 Biaya

 

Pasal 305

 

(1) Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) tidak dikenakan biaya.

 

(2) Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk non- aeronautika yang tidak digunakan untuk keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) dapat dikenakan biaya.

 

Pasal 306

 

Setiap orang dilarang:

  1. menggunakan frekuensi radio penerbangan kecuali untuk penerbangan; dan
  2. menggunakan frekuensi radio yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.

 

Pasal 307

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.